Friday, May 28, 2010

ARAH KIBLAT

0 comments
8 Mei dan 16 Juli – Hari Meluruskan Arah Kiblat
Posted on 28 Mei 2010




Sahabat angkasa, Muthoha Arkanudin, dibawah ini menuliskan hari khusus dan istimewa buat kaum muslimin, yaitu hari dimana pada jam tertentu merupakan saat matahari tepat berada diatas Kabah. Sehingga mudah bagi daerah-daerah lain untuk mengukur ulang, mengkoreksi atau malah membuat masjid baru yang mengarah ke kiblat.
Hari Meluruskan Arah Kiblat
Oleh : Mutoha Arkanuddin

Istiwa A’dhom, teknik sederhananamun akurat dalam penentuan arah kiblat.

Apakah arah kiblat masjid bisa berubah atau bergeser akibat gempa bumi maupun bergeraknya lempeng Bumi seperti isu yang tengah berkembang? Jawabannya tentu TIDAK! Artinya pengukuran sebelumnya memang yang membuat arah kiblat masjid tersebut tidak tepat.

Apakah arah kiblat cukup ke BARAT? Sebagaimana yang difatwakan oleh MUI beberapa waktu yang lalu? Jawabannya tentu TIDAK! Sebab di zaman sekarang menentukan arah kiblat semudah membalik telapak tangan (saking mudahnya RED)

“Dan dari mana saja engkau keluar (untuk shalat), maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah), dan sesungguhnya perintah berkiblat ke Ka’bah itu adalah benar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), Allah tidak sekali-kali lalai akan segala apa yang kamu lakukan.” (QS. Al-Baqarah : 149)

“Baitullah ( Ka’bah ) adalah kiblat bagi orang-orang di dalam Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang yang tinggal di Tanah Haram (Makkah) dan Makkah adalah qiblat bagi seluruh penduduk bumi Timur dan Barat dari umatku” (HR. Al-Baihaqi)

“Jika kamu mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap kiblat, lalu takbir, kemudian bacalah apa yang kamu hafal dari qur’an, lalu ruku’ sampai sempurna, kemudian i’tidal sampai sempurna, kemudian sujud sampai sempurna, kemudian duduk di antara dua sujud sampai sempurna, kemudian sujud sampai sempurna, lakukanlah yang demikian itu setiap rekaat.” (HR. Abu Hurairah)

Dalam ajaran Islam, mengadap ke arah kiblat atau bangunan Ka’bah yang berada di Masjidil Haram adalah merupakan tuntutan syariah dalam melaksanakan ibadah tertentu. Berkiblat wajib dilakukan ketika hendak mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah Muslim. Menghadap kiblat juga merupakan ibadah sunah ketika tengah azan, berdoa, berzikir, membaca Al-Quran, menyembelih binatang dan sebagainya.

Theodolit dan GPS dikenal sebagai pengukur arah kiblat yang presisi, namun demikian penggunaan peralatan ini tergolong sulit dan mahal biayanya.

Berdasarkan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, terdapat beberapa kaidah yang sering digunakan untuk mengetahui ketepatan arah kiblat. Diantaranya adalah menggunakan kompas kiblat, kompas sajadah atau peralatan canggih seperti pesawat GPS dan theodoliti. Kini, melalui teknologi penginderaan jarah jauh yang disediakan cuma-cuma oleh Google via internet menggunakan software Google Earth atau secara online disediakan oleh situs-situs seperti Qibla Locator atau RHI Qibla Locator yang memanfaatkan fasilitas Google Map Api (GMA) kita dengan mudah dapat mengetahui arah kiblat sebuah bangunan masjid secara visual dan jelas. Namun demikian penggunaan kaidah-kaidah tersebut sering terkendala beberapa masalah. Kompas belumlah dikatakan sebagai alat ukur yang presisi. Sebab dalam penggunaannya, kompas sering mengalami kesalahan. Kesalahan tersebut berupa penyimpangan jarum kompas baik oleh variasi magnetik secara global maupun atraksi magnetis secara lokal oleh logam di sekitarnya. Belum lagi skala kompas biasanya terlalu kasar. Sementara, penggunaan GPS dan theodolit untuk mengukur arah kiblat walaupun bisa mendapatkan hasil yang lebih presisi namun dalam prakteknya kedua peralatan tersebut tidak mudah didapatkan karena harganya yang cukup mahal. Walaupun Google Earth maupun fasilitas qibla locator secara online dapat membantu mengetahui arah kiblat secara visual dengan perhitungan yang sangat akurat, namun piranti tersebut bukan merupakan alat ukur yang presisi di lapangan dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu.
Pada setiap tanggal 28 Mei dan 16 Juli Matahari tepat berada di atas Ka’bah.

Lantas apakah bisa mengukur arah kiblat secara presisi dengan biaya yang murah? Jawabannya adalah BISA! Yaitu dengan menggunakan fenomena astronomis yang terjadi pada hari yang disebut sebagai yaumul rashdul qiblat atau hari meluruskan arah kiblat karena saat itu Matahari tepat di atas Ka’bah. Fenomena yang terjadi 2 kali selama setahun ini dikenal juga dengan istilah Transit Utama atau Istiwa A’dhom.

Istiwa, dalam bahasa astronomi adalah transit yaitu fenomena saat posisi Matahari melintasi di meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Zuhur. Setiap hari dalam wilayah Zona Tropis yaitu wilayah sekitar garis Katulistiwa antara 23,5˚ LU sampai 23,5˚ LS posisi Matahari saat istiwa selalu berubah, terkadang di Utara dan disaat lain di Selatan sepanjang garis Meridian. Hingga pada saat tertentu sebuah tempat akan mengalami peristiwa yang disebut Istiwa A’dhom yaitu saat Matahari berada tepat di atas kepala pengamat di lokasi tersebut.
Konsepnya sederhana! Saat Matahari di atas Ka’bah maka semua bayangan benda tegak akan mengarah ke Ka’bah

Hal ini bisa difahami sebab akibat gerakan semu Matahari yang disebut sebagai gerak tahunan Matahari. Ini diakibat selama Bumi beredar mengelilingi Matahari sumbu Bumi miring 66,5˚ terhadap bidang edarnya sehingga selama setahun Matahari terlihat mengalami pergeseran antara 23,5˚ LU sampai 23,5˚ LS. Pada saat nilai azimuth Matahari sama dengan nilai azimuth lintang geografis sebuah tempat maka di tempat tersebut terjadi Istiwa A’dhom yaitu melintasnya Matahari melewati zenit lokasi setempat.

Demikian halnya Ka’bah yang berada pada koordinat 21,4° LU dan 39,8° BT dalam setahun juga akan mengalami 2 kali peristiwa Istiwa A’dhom yaitu setiap tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 waktu setempat dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 waktu setempat. Jika waktu tersebut dikonversi maka di Indonesia peristiwanya terjadi pada 28 Mei pukul 16.18 WIB dan 16 Juli pukul 16.27 WIB. Dengan adanya peristiwa Matahari tepat di atas Ka’bah tersebut maka umat Islam yang berada jauh dan berbeda waktu tidak lebih dari 5 atau 6 jam dapat menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan Matahari.
28 MEI 2010 @ 16:18 WIB
16 JULI 2010 @ 16:27 WIB

MATAHARI TEPAT DI ATAS KA’BAH
POSISI MATAHARI = ARAH KIBLAT
BAYANGAN MATAHARI = ARAH KIBLAT
Untuk lebih akurat pengukuran disarankan menggunakan benang besar yang berbandul daripada sekedar menggunakan tongkat yang ternyata sulit membuatnya benar-benar tegak.
Saya menyebut untuk alat benang berbandul tersebut dengan istilah Solar Shadow Tracker (SST) – penjejak bayangan Matahari.

Teknik penentuan arah kiblat pada hari Rashdul Qiblat sebenarnya sudah dipakai lama sejak ilmu falak berkembang di Timur Tengah. Demikian halnya di Indonesia dan beberapa negara Islam yang lain juga sudah banyak yang menggunakan teknik ini. Sebab teknik ini memang tidak memerlukan perhitungan yang rumit dan siapapun dapat melakukannya. Yang diperlukan hanyalah sebatang tongkat lurus dengan panjang lebih kurang 1 meter dan diletakkan berdiri tegak di tempat yang datar dan mendapat sinar matahari. Pada tanggal dan jam saat terjadinya peristiwa Istiwa A’dhom tersebut maka arah bayangan tongkat menunjukkan kiblat yang benar.

Bahkan dengan menggunakan software khusus yang dapat mengetahui pergerakan benda langit secara presisi kapan secara persis terjadinya Istiwa A’dham dapat diketahui. Untuk tahun 2010 ini misalnya menurut software Starrynight Pro Plus Versi 6.3.8 yaitu sebuah software astronomi yang memiliki tingkat ketepatan sangat tinggi, peristiwa Istiwa A’dhom terjadi pada 28 Mei 2010 pukul 12:17:59 WS atau 16:17:59 WIB dan 16 Juli 2010 pukul 12:26:48 WS atau 16:26:48 WIB. Namun secara praktis angka tersebut bisa dibulatkan ke menit.
Tempat yang memungkinkan penentuan arah kiblat pada 28 Mei dan 16 Juli hanya di daerah terang saja.

Karena di negara kita peristiwanya terjadi pada sore hari maka arah bayangan adalah ke Timur, maka arah bayangan yang menuju ke tongkat adalah merupakan arah kiblat yang benar. Jika anda khawatir gagal karena Matahari terhalang oleh mendung maka toleransi pengukuran dapat dilakukan pada H-2 hingga H+2. Satu hal penting yang harus kita perhatikan adalah JAM yang kita gunakan hendaknya sudah terkalibrasi dengan tepat. Untuk mengetahui standard waktu yang tepat bisa digunakan tanda waktu saat Berita di RRI, layanan telpon 103 atau menggunakan jam atom yang disediakan oleh layanan internet.
Istiwa A’dhom di antipode (Nadir) Ka’bah dapat digunakan sebagai acuan penentuan arah kiblat secara presisi untuk wilayah yang tidak memungkinkan melakukan penentuan arah kiblat pada 28 Mei dan 16 Juli.

Penentuan arah kiblat menggunakan fenomena ini hanya berlaku untuk tempat-tempat yang pada saat peristiwa Istiwa A’dhom dapat secara langsung melihat Matahari. Sementara untuk daerah lain di mana saat itu Matahari sudah terbenam seperti Wilayah Indonesia Timur (WIT) praktis teknik ini tidak dapat digunakan. Maka ada fenomena lain yang dapat digunakan oleh daerah-daerah tersebut sehingga dapat mengetahui arah kiblat secara presisi. Fenomena itu adalah saat Matahari berada tepat di bawah Ka’bah yaitu saat Istiwa A’dhom terjadi di titik Nadir (Antipode) Ka’bah yang terjadi pada setiap tanggal 13 Januari dan 28 November.

Teknik Penentuan Arah Kiblat menggunakan Istiwa A’dhom :
Tentukan lokasi masjid/mushalla/ langgar atau rumah yang akan diluruskan arah kiblatnya.
Sediakan tongkat lurus panjang minimal 1 meter. Akan lebih bagus jika menggunakan benang besar yang diberi bandul sehingga tegak benar.
Siapkan jam/arloji yang sudah dicocokkan / dikalibrasi waktunya secara tepat dengan radio/ televisi/ internet atau telpon ke 103.
Tentukan lokasi pengukuran; di dalam masjid (diutamakan) atau di sisi Selatan Masjid atau di sisi Utara atau di halaman depan masjid. Yang penting tempat tersebut datar dan masih mendapatkan penyinaran Matahari saat peristiwa Istiwa A’dhom berlangsung.
Pasang tongkat secara tegak dengan bantuan lot tukang (jika menggunakan tongkat) atau pasang benang lengkap dengan bandul serta penyangganya di tempat tersebut. (Persiapan jangan terlalu mendekati waktu terjadinya fenomena agar tidak terburu-buru)
Tunggu sampai saat Istiwa A’dhom terjadi dan amatilah bayangan Matahari yang terjadi. Berilah tanda menggunakan spidol, benang, lakban, penggaris atau alat lain yang dapat membuat tanda lurus. Maka itulah arah kiblat yang sebenarnya
Gunakan benang, sambungan pada tegel lantai, atau teknik lain yang dapat meluruskan arah kiblat ini ini ke dalam masjid. Intinya yang hendak kita ukur sebenarnya adalah garis shaff yang posisinya tegak lurus (90°) terhadap arah kiblat. Maka setelah garis arah kiblat kita dapatkan untuk membuat garis shaff dapat dilakukan dengan mengukur arah sikunya dengan bantuan benda-benda yang memiliki sudut siku misalnya lembaran triplek atau kertas karton.

Sebaiknya bukan hanya masjid atau mushalla / langgar saja yang perlu diluruskan arah kiblatnya. Mungkin kiblat di rumah kita sendiri selama ini juga saat kita shalat belum tepat menghadap ke arah yang benar. Sehingga saat peristiwa tersebut ada baiknya kita juga bisa melakukan pelurusan arah kiblat di rumah masing-masing. Semoga cuaca cerah.

Semoga dengan lurusnya arah kiblat kita, ibadah shalat yang kita kerjakan menjadi lebih afdhal dan doanya lebih dikabulkan. Amin.

Keterangan lengkap hubungi Rukyat Hilal Indonesia (RHI) di 0274-552630 atau 08122743082.

CATATAN:
Untuk lebih akurat yg 28 Mei, hari sebelumnya dikurangi 3 menit per hari sesudahnya ditambah 3 menit per hari. Yang 16 Juli hari sebelumnya ditambah 3 menit per hari sesudahnya dikurangi 3 menit per hari. Masih cukup presisi. Kalaupun tidak dikoreksi jg masih ckp akurat krn hanya berbeda 0,2drjt setiap hari atau sekitar 10′ (menit busur) sementara diameter sumber cahaya (matahari) jauh lebih besar yaitu sekitar 0,5drjt atau 30′.

Wednesday, May 12, 2010

Ibrahim Bapak Tauhid

0 comments

IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69

MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK

Faktor-faktor yang menimbulkan penyembahan manusia
kepada ciptaan adalah ketidaktahuannya dan tuntutan
alami yang mutlak dalam dirinya yang pada umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem yang
unik ini. Namun, di sisi lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan para nabi -pemandu
Ilahi dan telah ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk tak-bernyawa, hewan, ataupun sesama
manusia sebelum ia dapat mencapai tujuannya yang
sesungguhnya, yakni Tuhan Yang Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah obyek yang dicari-carinya.
Melihat ini, para ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa tujuan para nabi bukanlah untuk meyakinkan
manusia tentang adanya pencipta alam semesta.
Sesungguhnya, peran mereka yang mendasar ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan penyembahan berhala. Dengan kata lain, mereka
datang untuk mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah yang kita semua percaya akan keberadaan-Nya
adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."

Kalimat "tiada Tuhan selain Allah," membuktikan apa
yang kami katakan di atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi Muhammad. Maksud kalimat ini ialah, tak ada
sesuatu yang patut disembah selain Allah, dan ini
berarti bahwa adanya Pencipta telah merupakan fakta
yang diakui, sehingga manusia dapat diajak untuk
menerima kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta- bukanlah hal yang
perlu dipertengkarkan. Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan percakapan para nabi dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.

[Catatan kaki: Tetapi, bagaimana konsepsi mereka
tentang berhala? Apakah mereka memandangnya patut
disembah dan hanya untuk menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan seperti Allah? Masalah ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan pertama itu
kuat dan terbukti.]

TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM

Jawara Tauhid ini dilahirkan di lingkungan gelap
penyembahan berhala dan penyembahan manusia. Manusia
menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada bintang-bintang.
Dalam situasi ini, hal yang mengangkat kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan
ketabahannya.

Tempat kelahiran pembawa panji tauhid ini adalah
Babilon. Para sejarawan telah menyatakan negeri itu
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak riwayat tentang keagungan dan
kehebatan peradaban wilayah itu. Sejarawan Yunani
kenamaan, Herodotus (483-425 SM), menulis, "Babilon
dibangun di sebuah lapangan persegi-panjang setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km. Pernyataan ini, betapapun dibesar-besarkan,
mengungkapkan realitas yang tak terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.

Namun, dari pemandangannya yang menarik dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi yang dapat
dilihat sekarang selain tumpukan lempung, di antara
sungai Tigris dan Efrat, yang diliputi kebungkaman
maut. Kebungkaman itu kadang-kadang dipecahkan oleh
para orientalis yang melakukan penggalian untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.

Nabi Ibrahim, pelopor tauhid, dilahirkan di masa
pemerintahan Namrud putra Kan'an. Walaupun Namrud
menyembah berhala, ia juga mengaku sebagai tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.

Mungkin nampak agak ganjil bahwa seorang penyembah
berhala mengaku pula sebagai dewa. Namun, Al-Qur'an
memberikan kepada kita suatu contoh lain tentang
kepercayaan ini. Ketika Musa mengguncang kekuasaan
Fir'aun dengan logikanya yang kuat dan menguak
kebohongannya dalam suatu pertemuan umum, para
pendukung Fir'aun berkata kepadanya, "Apakah kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf, 7:127). Telah termasyhur bahwa
Fir'aun mengaku sebagai tuhan dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Namun ayat ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.

Dukungan terbesar yang diperoleh Namrud datang dari
para astrolog dan penenung yang dipandang sebagai
orang-orang pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka jalan bagi Namrud untuk memanfaatkan kaum
tertindas dan kalangan bodoh. Selain itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan
juga memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja sudah merupakan halangan besar bagi Ibrahim,
karena di samping harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia juga harus menghadapi perlawanan kaum
kerabatnya sendiri.

Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk pesta
dan minum-minum ketika para astrolog membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda akan runtuh melalui seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah lahir atau belum?" Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan supaya
diadakan pemisahan antara perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan para astrolog, kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya membunuh anak-anak laki-laki. Para bidan
diperintahkan untuk melaporkan rincian tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.

Pada malam itu juga terjadi kehamilan Ibrahim. Ibunya
hamil dan, seperti ibu Musa putra 'Imran, ia
merahasiakan kehamilan itu. Setelah melahirkan, ia
menyelamatkan diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang. Ia
meninggalkan anaknya di suatu sudut gua, dan
mengunjunginya di waktu siang atau malam, tergantung
situasi. Dengan berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya telah
dibunuh.

Ibrahim menjalani tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong masuk yang sempit, sebelum
ibunya membawanya keluar. Ketika muncul di tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing. Terhadap hal itu, ibunya berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog." (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).

Ketika keluar dari gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang yang bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh. Dilihatnya
sekelompok orang yang memperlakukan sinar bintang
dengan sangat tolol. Ia juga melihat beberapa orang
dengan tingkat kecerdasan yang bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri, kemudian
menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai tuhan mereka dan menyatakan diri sebagai
pemberi hidup kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.

Nabi Ibrahim merasa harus mempersiapkan diri untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.

IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA

Kegelapan penyembahan berhala telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah merenggut hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka sebagai perantara untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.

RAHASIA POLITEISME

Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah mempunyai penyebab
tersendiri, dan bahwa Tuhan Yang Esa tidak mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu, ilmu pengetahuan
memang belum menemukan hubungan antara makhluk dan
fenomena alami serta berbagai kejadian. Sebagai
akibatnya, orang-orang itu mengkhayalkan bahwa semua
mahluk dan berbagai fenomena alami berdiri
sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan satu sama lain.
Karena itu, mereka menganggap bahwa untuk setiap
fenomena seperti hujan dan salju, gempa bumi dan
kematian, paceklik dan kesukaran, perdamaian dan
ketentraman, kekejaman dan pertumpahan darah, dan
sebagainya, ada tuhannya masing-masing. Mereka tak
menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu
kesatuan, di mana bagiannya saling terkait dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.

Pikiran bersahaja manusia masa itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah Yang Esa dan tidak
menyadari bahwa Allah yang menguasai alam semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas dari segala kelemahan dan cacat. Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya tiada
berbatas. Ia di atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa yang mampu menciptakan segala
makhluk dan fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.

Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang yang dapat mengurangi kemandirian kehendak
Allah yang tidak bersekutu, tidak dapat diterima.
Kepercayaan bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan cahaya sedang
yang satu lagi merupakan sumber kejahatan dan
kegelapan, juga tak dapat diterima. Kepercayaan bahwa
ada perantaraan oleh seseorang, seperti Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan alam semesta, atau bahwa
pengaturan tatanan dunia fisik telah dikuasakan pada
seorang manusia, merupakan manifestasi syirik dan
kelebih-lebihan. Penganut tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada para nabi dan orang suci,
memelihara keyakinan pada Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan tuntutan kepada manusia ialah metode logika dan
penalaran, karena mereka berurusan dengan pikiran
manusia. Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan keadilan,
dan pemerintahan semacam itu tak dapat didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, kita harus membedakan pemerintahan
para nabi dengan pemerintahan Fir'aun dan Namrud.
Tujuan dari kelompok yang kedua ini ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan segala cara
yang mungkin, sekalipun negara akan runtuh setelah
mereka mati. Sebaliknya, orang-orang suci bermaksud
mendirikan pemerintahan yang membawa maslahat pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah pada suatu waktu tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu tentu saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.

Ibrahim pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya yang menyembah berhala, di mana Azar
merupakan pentolannya. Sebelum mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah harus berjuang pada
bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas dari yang
pertama. Berlawanan dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi yang
hina dan tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan pemujaan bintang, Ibrahim menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia di zaman
itu, bahkan sekarang pun argumennya menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen Ibrahim, dan kami mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.

Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit di saat terbenamnya matahari dan
terus terjaga hingga ia terbenam lagi di hari
berikutnya. Selama 24 jam ini ia berdebat dan
berdiskusi dengan tiga kelompok, dan menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.

Kegelapan malam mendekat dan menyembunyikan segala
tanda kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala. Untuk merebut hati para
pemuja Venus, Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka seraya mengatakan,
"Itu adalah pemeliharaku." Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu sudut, ia berkata,
"Saya tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia menolak kepercayaan para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.

Pada tahap berikutnya, matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang dengan keindahannya yang
memukau. Dengan maksud merebut hati pemuja bulan,
secara lahiriah ia bersikap seakan bulan itu tuhan,
tapi kemudian ia merontokkan kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka bumi, maka tanpa
menyinggung perasaan para pemuja bulan itu, Ibrahim
berkata, "Apabila Tuhanku yang sesungguhnya tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu tatanan
dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."

Kegelapan malam berakhir dan matahari pun muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka bumi. Para pemuja matahari memalingkan wajah
mereka kepada tuhannya. Untuk menaati aturan
perdebatan, Ibrahim juga bersikap seolah mengakui
ketuhanan matahari. Namun, terbenamnya matahari
mengukuhkan bahwa ia tunduk pada suatu sistem alam
semesta yang umum, dan Ibrahim secara terbuka
menolaknya sebagai yang patut disembah.(lihat QS,
al-An'am, 6:75-79)

Tak diragukan bahwa saat tinggal di gua, melalui
anugerah Ilahi yang luar biasa, Ibrahim mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan para nabi. Namun, setelah
memperhatikan dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk argumentasi pada pengetahuan itu.
Dengan demikian, di samping menunjukkan jalan yang
benar kepada manusia dan memberikan kepada mereka
sarana bimbingan, Ibrahim telah meninggalkan
pengetahuan yang tak ternilai untuk digunakan oleh
orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.

Tuesday, May 4, 2010

Mencari kebenaran dari pertanyaan kecil

0 comments

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4) وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ (5)

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk: 3-5)

Apakah Langit Ada yang Cacat?

Dalam ayat ini, Allah menciptakan langit berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat. Kemudian Allah tanyakan, apakah ada sesuatu yang cacat atau retak di langit tersebut? Jawabannya tentu saja tidak. Kemudian Allah memerintah melihatnya berulang lagi (bahkan berulang kali), apakah ada yang cacat di langit itu? Hasilnya, jika dilihat berulang kali tidak ada cacat sama sekali pada ciptaan Allah tersebut. Namun yang didapat adalah rasa payah karena berulangkalinya menelusuri langit itu.

Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa jika sama sekali di langit tersebut tidak ada cacat, maka ini menunjukkan sempurnanya hasil ciptaan Allah. Ciptaan Allah tersebut begitu seimbang dilihat dari berbagai sisi, yaitu dari warna, hakikatnya, dan ketinggiannya. Begitu pula pada ciptaan Allah lainnya seperti matahari, rembulan dan bintang yang bersinar.[1]

Keindahan Langit Ciptaan Allah

Dalam ayat selanjutnya, Allah menjelaskan kebagusan langit ciptaan-Nya. Langit tersebut menjadi indah dan menawan karena dihiasi dengan bintang-bintang. Bintang dalam ayat di atas disebutkan berfungsi untuk melempar setan dan sebagai penghias langit. Namun sebenaranya fungsi bintang masih ada satu lagi. Bintang secara keseluruhan memiliki tiga fungsi.

Fungsi Bintang di Langit

Fungsi pertama: Untuk melempar setan-setan yang akan mencuri berita langit. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat Al Mulk,

وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ

“Dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk: 5)

Setan mencuri berita langit dari para malaikat langit. Lalu ia akan meneruskannya pada tukang ramal. Akan tetapi, Allah senantiasa menjaga langit dengan percikan api yang lepas dari bintang, maka binasalah para pencuri berita langit tersebut. Apalagi ketika diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, langit terus dilindungi dengan percikan api. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا, وَأَنَّا لا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الأرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا

“Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (QS. Al Jin: 9-10). Berita langit yang setan tersebut curi sangat sedikit sekali.[2]

Fungsi kedua: Sebagai penunjuk arah seperti rasi bintang yang menjadi penunjuk bagi nelayan di laut.

وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 16). Allah menjadikan bagi para musafir tanda-tanda yang mereka dapat gunakan sebagai petunjuk di bumi dan sebagai tanda-tanda di langit.[3]

Fungsi ketiga: Sebagai penerang dan penghias langit dunia. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ

“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS. Al Mulk: 5)

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (QS. Ash Shofaat: 6)

Mengenai surat Al Mulk ayat 5, ulama pakar tafsir –Qotadah As Sadusiy- mengatakan,

إن الله جلّ ثناؤه إنما خلق هذه النجوم لثلاث خصال: خلقها زينة للسماء الدنيا، ورجومًا للشياطين، وعلامات يهتدي بها ؛ فمن يتأوّل منها غير ذلك، فقد قال برأيه، وأخطأ حظه، وأضاع نصيبه، وتكلَّف ما لا علم له به.

“Sesungguhnya Allah hanyalah menciptakan bintang untuk tiga tujuan: [1] sebagai hiasan langit dunia, [2] sebagai pelempar setan, dan [3] sebagai penunjuk arah. Barangsiapa yang meyakini fungsi bintang selain itu, maka ia berarti telah berkata-kata dengan pikirannya semata, ia telah mendapatkan nasib buruk, menyia-nyiakan agamanya (berkonsekuensi dikafirkan) dan telah menyusah-nyusahkan berbicara yang ia tidak memiliki ilmu sama sekali.”[4] Dari sini Qotadah melarang mempelajari kedudukan bintang, begitu pula Sufyan bin ‘Uyainah tidak memberi keringanan dalam masalah ini.[5]

Mempelajari Posisi Benda Langit

Ada dua ilmu yang mempelajari posisi benda langit yaitu ilmu astronomi (ilmu tas-yir) dan ilmu astrologi (ilmu ta’tsir).

Pertama: Ilmu astronomi (ilmu tas-yir)

Astronomi, yang secara etimologi berarti "ilmu bintang" adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan kejadian yang terjadi di luar Bumi dan atmosfernya. Ilmu ini mempelajari asal-usul, evolusi, sifat fisik dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (dan di luar Bumi), juga proses yang melibatkan mereka.

Astronomi adalah salah satu di antara sedikit ilmu pengetahuan di mana amatir masih memainkan peran aktif, khususnya dalam hal penemuan dan pengamatan fenomena sementara. Astronomi jangan dikelirukan dengan astrologi, ilmusemu yang mengasumsikan bahwa takdir manusia dapat dikaitkan dengan letak benda-benda astronomis di langit. Meskipun memiliki asal-muasal yang sama, kedua bidang ini sangat berbeda; astronom menggunakan metode ilmiah, sedangkan astrolog tidak.[6]

Kedua: Ilmu astrologi (ilmu ta’tsir)

Astrologi adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet, bulan dan matahari) dengan nasib manusia. Karena semua planet, matahari dan bulan beredar di sepanjang lingkaran ekliptik, otomatis mereka semua juga beredar di antara zodiak. Ramalan astrologi didasarkan pada kedudukan benda-benda tata surya di dalam zodiak.

Seseorang akan menyandang tanda zodiaknya berdasarkan kedudukan matahari di dalam zodiak pada tanggal kelahirannya. Misalnya, orang yang lahir awal desember akan berzodiak Sagitarius, karena pada tanggal tersebut Matahari berada di wilayah rasi bintang Sagitarius. Kedudukan Matahari sendiri dibedakan antara waktu tropikal dan waktu sideral yang menyebabkan terdapat dua macam zodiak, yaitu zodiak tropikal dan zodiak sideral. Sebagian besar astrologer Barat menggunakan zodiak tropikal.

Di bola langit terdapat garis khayal yang disebut dengan lingkaran ekliptika. Jika diamati dari bumi, semua benda tatasurya (planet, Bulan dan Matahari) beredar di langit mengelilingi lingkaran ekliptika. Keistimewaan dari keduabelas zodiak dibanding rasi bintang lainnya adalah semuanya berada di wilayah langit yang memotong lingkaran ekliptika. Jadi dapat disimpulkan zodiak adalah semua rasi bintang yang berada disepanjang lingkaran ekliptika. Rasi-rasi bintang tersebut adalah:

Capricornus: Kambing laut
Aquarius: Pembawa Air
Pisces: Ikan
Aries: Domba
Taurus: Kerbau
Gemini: Si Kembar
Cancer: Kepiting
Leo: Singa
Virgo: Gadis Perawan
Libra: Timbangan
Scorpius: Kalajengking
Sagitarius : Si Pemanah[7]
Hukum Mempelajari Ilmu Astronomi dan Ilmu Astrologi

Para ulama dalam menilai ilmu yang mempelajari kedudukan bintang ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Terlarang mempelajari posisi benda langit. Inilah pendapat Qotadah dan Sufyan bin ‘Uyainah. Alasan mereka melarang hal ini dalam rangka saddu adz dzari’ah yaitu menutup jalan dari hal yang dilarang. Mereka khawatir jika kedudukan bintang tersebut dipelajari, akan diyakini bahwa posisi benda langit tersebut bisa berpengaruh pada takdir seseorang. Dan ini adalah penambahan dari tiga fungsi benda langit sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Pendapat kedua: Tidak mengapa mempelajari posisi benda langit. Yang dibolehkan di sini adalah ilmu tas-yir (ilmu astronomi). Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq bin Rohuyah dan kebanyakan ulama.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat karena berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari ilmu astronomi dan tidak termasuk sebab yang dilarang. Ilmu tas-yir (ilmu astronomi) memiliki beberapa manfaat. Di antaranya bisa dipakai untuk kepentingan agama seperti mengetahui arah kiblat dan waktu shalat. Atau untuk urusan dunia seperti mengetahui pergantian musim. Ini semua termasuk ilmu hisab dan dibolehkan.[8]

Sedangkan yang terlarang untuk dipelajari adalah ilmu yang pertama yang disebut dengan ilmu ta’tsir (ilmu astrologi). Dalam ilmu astrologi, ada keyakinan bahwa posisi benda-benda langit berpengaruh pada nasib seseorang.[9] Padahal tidak ada kaitan ilmiah antara posisi benda langit dan nasib seseorang. Inilah yang keliru.

Keyakinan Terhadap Zodiak dan Ramalan Bintang

Ada tiga macam keyakinan yang dimaksud dan ketiga-tiganya haram.

Pertama: Keyakinan bahwa posisi benda langit yang menciptakan segala kejadian yang ada di alam semesta dan segala kejadian berasal dari pergerakan benda langit.

Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh Ash Shobi-ah. Mereka mengingkari Allah sebagai pencipta. Segala kejadian yang ada diciptakan oleh benda langit. Pergerakan benda langit yang ada dapat diklaim menimbulkan kejadian baik dan buruk di alam semesta. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang kufur berdasarkan kesepakatan para ulama.

Kedua: Keyakinan bahwa posisi benda langit yang ada hanyalah sebagai sebab (ta’tsir) dan benda tersebut tidak menciptakan segala kejadian yang ada. Yang menciptakan setiap kejadian hanyalah Allah, sedangkan posisi benda langit tersebut hanyalah sebab semata. Keyakinan semacam ini juga tetap keliru dan termasuk syirik ashgor. Karena Allah sendiri tidak pernah menjadikan benda langit tersebut sebagai sebab. Allah pun tidak pernah menganggapnya punya kaitan dengan kejadian yang ada di muka bumi, seperti turunnya hujan dan bertiupnya angin. Semua ini kembali pada pengaturan Allah dan atas izin-Nya, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kedudukan benda langit yang ada. Allah hanya menciptakan bintang untuk tiga tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Ketiga: Posisi benda langit sebagai petunjuk untuk peristiwa masa akan datang. Keyakinan semacam ini berarti mengaku-ngaku ilmu ghoib. Ini termasuk perdukunan dan sihir. Perbuatan semacam ini termasuk kekufuran berdasarkan kesepakatan para ulama.[10]

Intinya, ketiga keyakinan di atas adalah keyakinan yang keliru, walaupun hanya menganggap sebagai sebab sedangkan yang menciptakan segala peristiwa adalah Allah. Keyakinan semacam inilah yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat muslim dalam majalah, koran, di dunia maya seperti di situs jejaring sosial (Facebook dan Friendster). Sebagian muslim masih saja mempercayai ramalan-ramalan bintang semacam zodiak (Aquarius, Pisces, Sagitarius, dll). Mereka meyakini bahwa pasangan yang cocok untuk dirinya adalah jika memiliki zodiak A, karena berdasarkan ramalan zodiaknya. Jika dia memiliki pasangan dari zodiak C, maka boleh jadi ada ketidakcocokan. Inilah perbuatan dosa yang sudah semakin tersebar luas di masyarakat muslim.

Mengenai hukum membaca ramalan bintang secara lebih lengkap -insya Allah- akan kami ulas pada posting selanjutnya dalam kategori aqidah.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Janganlah pernah bosan untuk mempelajari Al Qur'an melalui tafsirnya walaupun hanya satu atau dua ayat.