Friday, March 25, 2011

Narkoba dan Remaja

0 comments
TUGAS PSIKOLOGI PERKEMBANGAN II
“PENYALAHGUNAAN NAPZA DI LINGKUNGAN REMAJA”















DISUSUN OLEH :
1. Kintan Ambarrani 6095111002
2. Finna Widya Kusuma 6095111009
3. Sari Utaminingsih 6095111015
4. Mitra Sari Raya 6095111030
5. Mutiara Ika Afrilia 6095111032




FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2011
PENYALAHGUNAAN NAPZA DI LINGKUNGAN REMAJA DAN CARA PENANGGULANGANNYA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
Dalam waktu yang relatif singkat beberapa tahun belakangan ini penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ) telah menjadi momok yang begitu mengerikan. Hal ini dikarenakan NAPZA dapat masuk kesemua usia dan lapisan masyarakat. Para pengguna NAPZA sebenarnya sangat memerlukan perhatian semua pihak baik dari orang tua, masyarakat, maupun pemerintah, karena menyangkut masa depan setiap orang, dampak penyalahgunaan NAPZA pada setiap orang berbeda-beda tergantung jenis yang digunakan (Hawari, 2009).
Walaupun mayoritas remaja tidak menyalahgunakan napza, sebagian kecil dalam jumlah signifikan melakukannya. Penyalahgunaan zat (substance abuse) adalah penggunaan alkohol atau narkoba jenis lain yang berbahaya. Ini adalah pola perilaku yang kurang adaptif dengan jangka waktu lebih dari sebulan dan pelakunya terus menggunakan zat tersebut walaupun tahu bahwa dirinya terancam bahaya karenanya atau menggunakannya berulang kali dalam situasi yang berbahaya seperti saat mengemudi (APA, 1994). Penyalahgunaan dapat menjadi ketergantungan zat (substance dependece) atau kecanduan, baik secara fisiologis, psikologis, atau keduanya, dan terus berlangsung sampai masa dewasa. NAPZA yang membuat kecanduan terutama berbahaya bagi remaja karena merangsang bagian-bagian dari otak yang sedang berubah di masa remaja (Chamber et al., 2003).

B. Fakta-Fakta atau Data-Data Empiris
Pada setiap kasus, ada penyebab yang khas mengapa seseorang menyalahgunakan NAPZA dan ketergantungan. Artinya, mengapa seseorang akhirnya terjebak dalam perilaku ini merupakan sesuatu yang unik dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan kasus lainnya. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang berperan pada penyalahgunaan NAPZA.

a. Faktor Keluarga
Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi tertuduh timbulnya penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko tinggi anggota keluarganya (terutama anaknya yang remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA.
• Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan NAPZA.
• Keluarga dengan manajemen keluarga yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya, ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
• Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
• Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Di sini peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
• Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
• Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, dan sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

b. Faktor Kepribadian
Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja, biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.
Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak mandiri memainkan peranan penting dalam memandang NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi.
Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA. Di sinilah sebenarnya peran keluarga dalam meningkatkan harga diri dan kemandirian pada anak remajanya.

c. Faktor Kelompok Teman Sebaya (peer group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan.
Kegagalan untuk memenuhi tekanan dari kelompok teman sebaya, seperti berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer, mencapai prestasi dalam bidang olah raga, sosial dan akademik, dapat menyebabkan frustrasi dan mencari kelompok lain yang dapat menerimanya. Sebaliknya, keberhasilan dari kelompok teman sebaya yang memiliki perilaku dan norma yang mendukung penyalahgunaan NAPZA dapat muncul.

d. Faktor Kesempatan
Ketersediaan NAPZA dan kemudahan memperolehnya juga dapat dikatakan sebagai pemicu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkotika internasional, menyebabkan zat-zat ini dengan mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melansir bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk sampai di SD. Penegakan hukum yang belum sepenuhnya berhasil tentunya dengan berbagai kendalanya juga turut menyuburkan usaha penjualan NAPZA di Indonesia.
Akhirnya, dari beberapa faktor yang sudah diuraikan, tidak ada faktor yang satu-satu berperan dalam setiap kasus penyalahgunaan NAPZA. Ada faktor yang memberikan kesempatan, dan ada faktor pemicu. Biasanya, semua faktor itu berperan. Karena itu, penanganannya pun harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keterlibatan aktif orang tua.

Setiap tahunnya penggunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) semakin meningkat, sementara fenomena narkoba itu sendiri seperti gunung es (ice berg) yang artinya tampak di permukaan lebih kecil di bandingkan dengan yang tidak tampak. Penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah, mengingat hampir seluruh penduduk dunia dengan mudah mendapatkan narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab (Hawari, 2009).
Pada akhir tahun 2003 diperkirakan terdapat 13,2 juta pengguna narkoba suntikan di dunia. Sekitar 22% di antaranya hidup di negara maju, sedangkan sisanya berada di negara yang sedang berkembang atau sedang mengalami transisi. Di Eropa Barat terdapat sekitar 1 juta sampai 1,4 juta pengguna narkoba suntikan (9,41%), sedangkan di Eropa Timur dan Asia Tengah mencapai 2,3 sampai 4,1 juta (24,18%). Di Asia Selatan dan Asia Tenggara jumlahnya jauh lebih banyak lagi yaitu mencapai 5,3 juta (25,36%). Sementara di Asia Timur dan Pasifik 4 juta orang (17,66%), Afrika Utara dan Timur Tengah 0,6 juta orang, Amerika Latin 1,3 juta, Amerika Utara 1,4 juta, Australia dan Selandia Baru hanya sekitar 298.000 orang (Djauzi, 2007).
Jumlah pengguna narkoba suntikan di Indonesia cenderung meningkat. Sejak 3 tahun terakhir mengalami peningkatan, dari 22,2% pada tahun 2001 mengalami peningkatan menjadi 46,9% pada tahun 2002, dan meningkat kembali menjadi 61,8% pada 2003. Indonesia ternyata telah merupakan salah satu negara di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah pengguna narkoba suntikan yang cukup tinggi melampaui 100.000 orang selain Bangladesh, India, Iran, Pakistan, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam. Pengguna narkoba suntikan di Indonesia pada mulanya tidak banyak hal ini karena kebanyakan dari pengguna narkoba suntik hanya terdapat di kota-kota besar saja, tetapi saat ini sudah didapati pengguna narkoba suntikan di kota-kota kecil di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini lebih dari 50% pengidap HIV adalah juga pengguna narkoba. Setiap bulannya ada 30-50 pengidap HIV baru datang untuk konsultasi atau mengecek kesehatan mereka dan sebagian besar dari mereka adalah pengguna narkoba dan berusia remaja 12-25 tahun baik laki- laki maupun perempuan, dari 1.200 orang yang menggunakan narkoba terdapat 200 orang yang menjalani test HIV didapatkan hasil test yang mengejutkan, sebanyak 93% atau 163 orang positif terkena HIV (Dewi, 2006).
Sampai saat ini narkoba masih mengancam masyarakat Indonesia meski Indonesia telah berkomitmen bebas narkoba dan HIV AIDS pada tahun 2015. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah pengguna narkoba yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1970 diperkirakan hanya 130.000 orang yang menggunakan narkoba dan pada tahun 2009 terdeteksi 2% penduduk pernah bersentuhan dengan narkoba atau meningkat 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya, 2% tersebut terdiri dari 60% usia produktif dan 40% pelajar (Hapsari, 2007).

Data kasus pengguna narkoba di Indonesia tahun 2004-2008

No. Usia dalam tahun Tahun
2004 2005 2006 2007
2008
1 < 16 71 127 175 110 133
2 16-19 763 1.668 2.447 2.617 2.001
3 20-24 2.879 5.503 8.383 8.275 6.441
4 25-29 2.888 6.442 8.105 9.278 10.126
5 >29 4.722 9.040 12.525 15.889 25.993
Jumlah 11.323 22.780 31.635 36.169 44.694
Sumber : BNN(Badan Narkotika Nasional), Pimansu dan Divisi litbang GAN Indonesia, Januari 2009.

Berdasarkan informasi dari World Book 2004 jenis-jenis narkoba yang dilarang secara hukum untuk diperdagangkan dan diedarkan ke masyarakat adalah sebagai berikut.
1. Marijuana
2. Cocaine
3. Methamphetamine
4. Heroin
5. Club Drugs ( ecstacy, rohypnol, GHB/Gammahydroxybutyrate, ketamine )

Disamping penyalahgunaan narkoba secara ilegal , ada lagi yang bersifat legal, yaitu yang dapat dibeli dengan resmi dan mudah. Yang termasuk dalam hal ini yaitu :
1. Minuman beralkohol dapat ditemui di berbagai toko, restoran dan klub malam.
2. Produk-produk tembakau seperti rokok , cerutu , dan sugi pada wanita-wanita tua di desa-desa tertentu di seluruh Indonesia.
3. Gas narkoba misalnya lem yang dihisap/dihirup melalui hidung (inhalant) yang populer pada pecandu di Amerika Serikat dan negara-negara lain seperti Indonesia.
4. Resep-resep obat dari dokter-dokter tertentu yang mungkin berkolusi dengan pecandu narkoba.
II. TINJAUAN TEORI
A. Dasar Teori
Karen Horney
Menurut Karen Horney kecemasan dasar yang dirumuskan sebagai perasaan yang terdapat pada anak karena terisolasi dan tidak berdaya, hal tersebut menyebabkan anak tersebut tidak nyaman, yaitu masa bodo, kurang menghargai kebutuhan-kebutuhan anak, sikap yang meremehkan anak, terlalu kurang membanggakan anak, kurang adanya kehangatan, ketidak adilan terhadap anak, diskriminasi, janji-janji yang tidak ditepati, suasana bermusuhan dll. beberapa penyebab seseorang khususnya remaja terjerumus dalam hal-hal yang tidak baik salah satunya penyalahgunaan NAPZA, kerena tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis remaja tersebut, dan kebutuhan-kebutuhan tersebut familiarnya disebut dengan Ten Needs of Humans.
Tentang odipus kompleks, Horney berpendapat bahwa kompleks bukan suatu konflik seksual dan dorongan agresi yang terjadi antara anak dengan orangtuanya. Odipus kompleks merupakan kecemasan yang timbul dari gangguan-gangguan dasar yang terjadi dalam hubungan antara anak dengan orangtuanya (misal: karena penolakan, perlindungan yang berlebihan, dll.). Konsep utama Horney adalah kecemasan dasar, yaitu perasaan yang terdapat pada anak, yang disebabkan oleh rasa terisolasi dan tidak berdaya dalam menghadapi hal-hal yang ada di lingkungan dan membuat anak merasa tidak aman. Hal-hal yang menumbuhkan rasa tidak aman adalah dominasi (langsung/tidak langsung), sikap masa bodoh, kurang adanya penghargaan terhadap kebutuhan-kebutuhan anak, kurang kesungguhan dalam membimbing, sikap meremehkan anak, kurang adanya kehangatan, suasana permusuhan, dsb. Segala sesuatu yang mengganggu keamanan anak dalam hubungan dengan orangtuanya akan menimbulkan kecemasan dasar. Anak yang tidak aman dan cemas akan menempuh berbagai siasat untuk mengatasi perasaan-perasaan terisolasi dan rasa tak berdaya, salah satunya dengan mengonsumsi NAPZA.
Kebutuhan-kebutuhan yang termasuk Ten Needs of Humans yang berkaitan dengan penyalahgunaan NAPZA adalah :
1. Kebutuhan akan kasih sayang
Salah satu faktor penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja adalah kebutuhan akan kasih sayang dari keluarga yang tidak terpenuhi. Sehingga remaja mencari kasih sayang dan kebahagiaan di luar lingkungan keluarganya,bisa kearah yang positif maupun negatif, namun kebanyakan para remaja yang kurang akan kasih sayang dilingkungan keluarganya akan mencari sosok yang membuat ia nyaman dan terlindungi, seperti pergaulan dengan teman sebaya (peer group), kekasih, bahkan bisa terjerumus kearah yang tidak baik, seperti penyalahgunaan NAPZA, sexs bebas dan lain-lain.
2. Kebenciaan pada diri sendiri (self hatred)
Remaja dengan pencarian neurotik terhadap keagungan tidak pernah bisa menjadi bahagia dengan dirinya sendiri, karena ketika mereka menyadari bahwa jati diri mereka yang nyata tidak cocok dengan tuntutan-tuntutan sinting gambaran-diri mereka yang diidealkan, mereka akan mulai membenci dan menolak diri mereka sendiri (Horney, 1950, hlm. 110) : Diri yang diagung-agungkan menjadi bukan hanya bayangan yang harus dikejar; dia juga menjadi tali pengukur bagi keberadaan aktualnya. Dan keberadaan aktual ini menjadi pemandangan yang memalukan saat dilihatnya dari perspektifnya yang “setara-Tuhan” tentang kesempurnaan, sehingga tidak bisa tidak, dia harus menolak keberadaan aktual ini.
Horney (1950) melihat enam cara utama sebuah pribadi mengekspresikan kebencian-pada-diri-sendiri. Pertama, kebencian-pada-diri-sendiri mengahasilkan tuntutan tanpa-akhir atas dirinya sendiri, diperkuat oleh “tirani mengenai semestinya”. Contohnya, beberapa orang melontarkan tuntutan pada diri sendiri yang tidak akan berhenti meskipun mereka sudah mencapai ukuran kesuksesan tertentu. Orang-orang ini trus mendorong diri mereka menuju ke kesempurnaan karena percaya mereka mestinya menjadi sempurna.
Model kedua, pengekspresian kebencian-diri adalah penuduhan-diri yang tidak kenal belas kasihan (mercilles self-accusation). Para penderita neurotik secara konstan menghakimi diri mereka sendiri. “Jika sampai ada yang tahu diriku yang sesungguhnya, maka mereka akan tahu kalau aku hanya berpura-pura untuk mengenal, kompeten, dan tulus. Aku sebenarnya berdusta namun, tidak ada yang boleh tahu selain diriku sendiri.” Penghakiman-diri bisa mengambil beragam bentuk dari ekspresi yang jelas-jelas agung, seperti mengambil tanggung jawab bagi musibah-musibah alamiah, sampai mempertanyakan dengan gigih kebaikan motivasi-motivasi mereka sendiri.
Ketiga, kebencian-pada-diri-sendiri bisa mengambil bentuk merendahkan-diri-sendiri (self-contempt), yang bisa diekspresikan sebagai peremehan, pengejekan, peraguan, pendiskreditan, dan menertawakan diri sendiri. Merendahkan-diri-sendiri mencegah penderita neurotik dari perbaikan atau pencapaian. Seorang laki-laki muda bisa berkata pada dirinya, “Kamu idiot! Apa yang membuatmu berpikir kamu bisa berkencan dengan perempuan tercantik di kota ini?” Seorang perempuan bisa menanggapi kesuksesan karirnya hanya dengan kata-kata “Cuma beruntung”. Meskipun orang-orang ini menyadari perilakunya, tetapi mereka tidak pernah tahu kalau kebencian-pada-diri-sendiri lah yang memotivasinya.
Ekspresi keempat, kebencian-pada-diri-sendiri adalah membuat-frustasi-diri-sendiri (self-frustating). Horney (1950) membedakan antara mendisiplinkan diri-sendiri (self-diciplining) yang sehat dan membuat frustasi-diri-sendiri yang neurotik. Yang pertama melibatkan penundaan atau pengabaian aktivitas-aktivitas yang menyenangkan dalam rangka meraih tujuan-tujuan yang masuk akal. Yang kedua berasal dari kebencian-pada-diri-sendiri dan dirancang untuk mengaktualisasikan gambaran-diri kanak-kanak. Penderita neurotik sering kali terkungkung oleh tabu-tabu kenikmatan. “Saya tidak layak mendapat mobil baru.” “Saya tidak harus mengenakan pakaian bagus karena banyak orang di seluruh dunia lebih pantas mengenakannya.” “Saya tidak harus memperjuangkan pekerjaan yang lebih baik karena aku tidak cukup baik untuk itu.”
Kelima , kebencian-pada-diri-sendiri bisa memanifestasikan diri sebagai menyakiti-diri-sendiri (self torment) , bahkan menyiksa-diri-sendiri (self-torture). Walaupun menyiksa-diri-sendiri dapat eksis di setiap bentuk kebencian-pada-diri-sendiri yang lain namun, dia menjadi kategori yang terpisah ketika niat utama mereka adalah menyebabkan rasa sakit atau penderitaan pada diri mereka sendiri. Beberapa orang mencapai kepuasan masokhistik dengan memprotes sebuah keputusan, membesar-besarkan rasa sakit di kepala, memotong urat nadi sendiri dengan pisau, memulai sebuah perkelahian yang jelas akan kalah, atau mengundang siksaan fisik lainnya.
Bentuk keenam dan terakhir dari kebencian-pada-diri-sendiri adalah tindakan-tindakan dan impuls-impuls yang menghancurkan-diri-sendiri (self-destructive action and impulses) , yang bisa bersifat fisik atau psikologis, sadar atau tidak sadar, akut atau kronis, dan dilakukan lewat tindakan atau hanya di dalam imajinasi. Makan secara berlebih-lebihan, menenggak alkohol dan obat-obatan terlarang, bekerja terlalu keras, mengemudi ugal-ugalan dan bunuh diri, adalah ekspresi-ekspresi umum penghancuran-diri-sendiri secara fisik. Penderita neurotik juga dapat menyerang diri sendiri secara psikologis, contohnya dengan keluar dari pekerjaan padahal karirnya mulai menanjak, memutuskan sebuah hubungan yang sehat demi mengejar kebutuhan yang neurotik, atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas seksual yang cabul.
Horney (1950, halaman 154) menyimpulkan pencarian neurotik terhadap keagungan dan pendukung-pendukung kebencian pada diri sendiri ini sebagai berikut :
Setelah mensurvei kebencian pada diri sendiri dan daya-daya penghancurannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa selain melihatnya sebagai tragedi besar, bahkan mungkin tragedi terbesar dari jiwa manusia. Dalam upayanya menjangkau yang tak terbatas dan absolut, manusia menghancurkan dirinya sendiri. Tetapi ketika dia menjalin kesepakatan dengan iblis yang menjanjikannya keagungan, maka dia harus pergi ke neraka yaitu neraka yang ada dalam dirinya sendiri.

B. Analisis
Penyalahgunaan NAPZA adalah suatu pemakaian non medical atau ilegal barang haram yang dinamakan NAPZA yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan yang produktif manusia pemakainya. Manusia pemakai NAPZA bisa dari berbagai kalangan , mulai dari level ekonomi tinggi hingga rendah, pekerja, ibu-ibu rumah tangga bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-sekolah yang jelas-jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus lagi anak dan remaja.
Seringkali kita mendengar para remaja yang terlibat dalam kasus NAPZA, baik si remaja sebagai pecandu maupun selaku pengedar barang maksiat itu. Namun dalam prakteknya di lapangan, sangatlah sulit untuk mampu mengidentifikasi remaja yang melakukan penyalahgunaan NAPZA maupun seseorang pecandu, sehingga diperlukan suatu teknik/trik khusus agar mampu mengenalinya. Karena itulah perlu diketahui tentang tanda-tanda pada remaja yang kita curigai kemungkinan apakah mereka terlibat penyalahgunaan NAPZA, hal ini disarikan bersumber dari CDCP (Centers For Disease Control And Prevention) :
*Jika Anda menemukan minimal enam (6) tanda dari masing-masing kategori ciri-ciri dibawah ini yang tampak pada remaja Anda dalam suatu periode waktu tertentu, maka segera berbicara kepada remaja tersebut dan mencari bantuan seseorang ahli untuk menghindari remaja yang mencandu tersebut terperosok lebih dalam lagi.

1. Tanda-tanda di rumah :
• Hilangnya minat dalam aktifitas keluarga.
• Tidak patuh terhadap aturan keluarga.
• Hilang/berkurangnya rasa tanggung jawab.
• Bersikap kasar baik secara verbal maupun fisik.
• Menurun/meningkatnya nafsu makan secara tiba-tiba.
• Mengaku sering kehilangan barang atau uang.
• Tidak pernah pulang ke rumah tepat waktu.
• Tidak mengatakan kepada siapapun kemana mereka pergi.
• Terus-menerus meminta maaf terhadap segala perbuatannya.
• Menghabiskan banyak waktunya berdiam diri di dalam kamar bila sedang di rumah.
• Sering berbohong mengenai aktifitas mereka.
• Menemukan benda-benda, seperti kertas pembungkus rokok, pipa hisap, gelas kecil, sisa-sisa serbuk maupun jarum suntik dan lain-lainnya yang mencurigakan.

2. Tanda-tanda di sekolah/tempat kerja :
• Sering tiba-tiba pingsan di sekolah/tempat kerja.
• Acapkali bolos masuk sekolah/kerja .
• Kehilangan minat dalam kegiatan belajar.
• Tertidur di dalam kelas/saat bekerja.
• Buruk dalam penampilan sehari-hari.
• Tidak pernah mengerjakan tugas pekerjaan rumah.
• Tidak mematuhi bahkan menentang aturan sekolah/otoritas.
• Perilaku yang buruk di setiap kegiatan sekolah/pekerjaan.
• Penurunan konsentrasi, perhatian dan memori.
• Tidak pernah memberitahukan orang tua/wali jika ada pemanggilan/pertemuan dengan guru.

3. Tanda-tanda kelainan fisik dan emosional :
• Teman/kelompok sering berganti-ganti.
• Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti.
• Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol, mariyuana, dan rokok dari nafas atau badan.
• Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat dijelaskan.
• Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid (ketakutan dan curiga), destruktif (merusak), tampak cemas.
• Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang seharusnya.
• Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan.
• Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis.
• Kadang tampak depresi, mudah sedih dan tertekan.
• Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan mencuri.
• Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa punya uang lebih.
• Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus.

Secara umum NAPZA berdampak pada sosial, psikis, dan fisik. Pada dampak sosial dapat dilihat dari gangguan mental, anti-sosial dan asusila. Pada dampak psikis dapat dilihat dari sikap ceroboh, sering tegang dan gelisah, tidak percaya diri, perasaan tidak aman, sering kesal, apatis, sulit konsentrasi. Sedangkan pada dampak fisiknya, dapat menyababkan gangguan pada jantung, kulit, paru-paru, dan pada sistem reproduksi. Bagi pria dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kadar hormon testosteron, penurunan dorongan sex, disfungsi ereksi, hambatan ejakulasi, pengecilan ukuran penis, pembesaran payudara dan gangguan sperma. Sedangkan pada wanita terjadi penurunan dorongan sex, gangguan pada hormon estrogen dan progesteron, kegagalan orgasme, hambatan menstruasi, pengecilan payudara, gangguan sel telur, hambatan menjadi hamil dan kecacatan pada bayi (Lin, 2007).
Dadang Hawari adalah seorang psikiater yang amat handal dalam masalah narkoba dan berkomentar bahwa orang yang telah bergantung pada NAPZA, maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara wajar di masyarakat ( Republika, Juli 2003 ). Jika putus NAPZA maka si pemakai akan mengalami gejala withdrawal (sakaw). Pada peristiwa ini timbul gejala-gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), pupil mata melebar (dilatasi pupil), keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia (tak bisa tidur), mudah marah, emosional, serta agresif.
Hasil penelitian Dadang Hawari terhadap penyalahgunaan heroin menunjukkan bahwa 53,5% pemakai mengalami kelainan paru, 55,1% mengalami kelainan fungsi hati, 56,6% mengalami infeksi hepatitis C, serta 33,3% mengalami infeksi virus HIV/AIDS dan 17,1% pemakai heroin berakhir dengan kematian.

MENANGGULANGI BAHAYA NAPZA
Banyak panti rehabilitasi didirikan oleh swasta dan pemerintah untuk membantu agar kecanduan NAPZA dapat diatasi. Bukannya mereda akan tetapi makin banyak orang yang kecanduan NAPZA. Kunci persoalan terletak pada ketahanan iman, ketahanan diri, dan kemampuan melawan bahaya NAPZA. Berikut ini ada beberapa cara untuk menanggulangi bahaya NAPZA.
1. Metode-Metode Pemulihan Pecandu
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya , pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Kebergantungan Obat (RSKO). Disana pecandu dipulihkan secara total dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Selain itu pecandu juga disembuhkan melalui pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2. Metode Konseling Terpadu
Metode Konseling Terpadu (MKT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan NAPZA dengan menggunakan beragam pendekatan konseling. Syarat utama MKT adalah klien telah selesai dengan program detoxification di RSKO. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada MKT adalah sebagai berikut.
a. Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional (dan keagamaan , jika konselor mampu ), sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor dan akhirnya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing , 1980).
b. Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan Kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalon , 1985).
c. Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien NAPZA , amat diperlukan dukungan keluarga. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga , sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien.
d. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan, termasuk pendidikan agama diberikan kepada klien NAPZA dengan tujuan untuk membentuk kepribadian klien yang sehat (healthy personality) sebagaimana dimiliki orang-orang normal. Sedangkan pelatihan yang diperlukan adalah latihan komunikasi yang sopan dan dengan bahasa yang baik, latihan bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat, latihan berdiskusi dan latihan ibadah.
e. Kunjungan (Visiting)
Program kunjungan misalnya ke pesantren dan lembaga-lembaga keterampilan. Pada kunjungan ke pesantren beberapa makna akan diperoleh klien terutama makna Ketuhanan, hidup, dan ibadah. Sedangkan kunjungan ke lembaga keterampilan dilakukan bersama konselor dan timnya ke lembaga-lembaga keterampilan untuk menumbuhkan motivasi kerja.
f. Partisipasi Sosial
Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan kesadaran sosial atau hidup bermasyarakat secara wajar dan produktif. Secara wajar artinya setelah klien terlepas dari kebergantungan NAPZA ia harus kembali ke masyarakatnya dengan memenuhi nilai, norma, dan tuntutan sosial yang demokratis dan bersahabat. Disamping itu ia harus pula menjadi manusia produktif sebagai ciri kepribadian sehat (Jourard & Landsman, 1980).

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perilaku remaja. Selain itu, lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya (peer group) juga mempunyai andil dalam pembentukan karakter dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada remaja. Pada umumnya, remaja lebih intens berhubungan dengan teman sebaya (peer group) dan menjaga jarak dengan orang tuanya. Maka dari itu, peran orang tua sangatlah dibutuhkan dalam pendampingan remaja yang pada masa itu emosi mereka masih labil dan rentan terkena pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitarnya. Sepertinya yang disebutkan dalam teori Karen Horney, yaitu kebutuhan akan kasih sayang. Orang tua wajib memberikan kasih sayang pada anaknya supaya anak tersebut terpenuhi kebutuhan kasih sayangnya. Konsep utama Horney adalah kecemasan dasar, yaitu perasaan yang terdapat pada anak, yang disebabkan oleh rasa terisolasi dan tidak berdaya dalam menghadapi hal-hal yang ada di lingkungan dan membuat anak merasa tidak aman. Hal-hal yang menumbuhkan rasa tidak aman adalah dominasi (langsung/tidak langsung), sikap masa bodoh, kurang adanya penghargaan terhadap kebutuhan-kebutuhan anak, kurang kesungguhan dalam membimbing, sikap meremehkan anak, kurang adanya kehangatan, suasana permusuhan, dsb. Semua itu dapat menjadi pendorong bagi remaja untuk terjerumus ke hal-hal negatif salah satunya penyalahgunaan NAPZA.



B. Saran / Rekomendasi
a. Untuk pihak orang tua:
• Para orang tua diharapkan agar memberi perhatian pada setiap kebutuhan remaja.
• Menerapkan pola pengasuhan demokratis pada remaja.
• Orang tua hendaknya dapat menjadi teman, sehingga remaja dapat terbuka kepada orang tuanya.
• Para orang tua seharusnya mengarahkan anak kearah yang positif termasuk dalam menggunakan fasilitas teknologi.
• Menanamkan dasar agama yang kokoh dan moral pada remaja.
• Membimbing remaja dalam menggapai cita-citanya ( masa depan).
b. Untuk pihak remaja
• Remaja hendaknya lebih selektif dalam memilih teman dalam bergaul.
• Mengontrol dirinya dalam melakukan segala hal yang sekiranya bisa mengarahkan dirinya kearah yang negatif.
• Memperbanyak kegiatan yang positif, misalnya berolahraga atau aktif dalam kegiatan organisasi yang ada di sekolah ( OSIS, Tonti, Pramuka, dan lain-lain ).

















LAMPIRAN









ALKOHOL DAUN GANJA EXTACY









AMPHETAMIN METADON MORFIN










CERUTU COCAINE METHAMPHETAMINE

DAFTAR PUSTAKA

Willis , Sofyan., Remaja dan Masalahnya, Penerbit CV.Alfabeta, Bandung, 2005.
Paris , B.J., Theories of Personality, CT: Yale University Press, New Haven,1994.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19888/5/Chapter%20I.pdf

0 comments:

Post a Comment