Tuhan
kenapa kau bangun cinta yang begitu besar jika nantinya Kau takdirkan aku tak
bersamanya? Kata-kata ini terlontar dari tokoh pewayangan yang di mainkan
sudjiwo tedjo. Takdir seseorang memang begitu beragam, semua orang agaknya
memang miliki takdir yang berbeda-beda. Dalam masalah cinta pun manusia memang
di ciptakan dengan segitu sempurnyanya. Manusia di ciptakan dengan di beri hak
dicinta dan mencinta.
Pilihan
mencinta juga berisiko, di cintai juga berisiko. Lah memang di dunia ini tiada
yang tanpa resiko bukan? Hidup ini sejak kita lahir sudah berisiko. Saat kita
baru lahir kita di wanti-wanti (dikhawatirkan) oleh orang tua. Kita berlatih
berjalan resikonya kepala kita sering kebentur tembok, jatuh lecet-lecet dan
sebagainya. Kita gedhe sedikit, kita bermain di nakali anak-anak kita berantem
dengan anak tetangga juga resiko. Tapi buktinya sampai sekarang kita masih bisa
hidup kan? Begitupun dengan mencintai dan di cintai semua bersiko sakit kata
sebagian orang. Cintakah yang salah? Jelas tidak bukan cinta yang salah kitalah
yang lemah kitalah yang mudah menyerah begitu kata Candra Malik dalam ma’rifat
cintanya.
Mencintai
hak semua manusia tiada terkecuali semua mahluk yang ada di muka bumi. Di cintai
juga semestinya menjadi hak manusia juga. Namun bagi saya mencintai itu adalah
kewajiban. Bukan lagi hak, dengan kita menganggap mencintai itu kewajiban kita
akan berusaha mendamaikan diri untuk mencintai sehingga yang kita dapati adalah
kedamaian.
Mencintai
tak harus memiliki? Mencintai memang tak harus memiliki karena kita telah
merasa memilki. Dengan merasa saja kita bisa bahagia kenapa kita mesti ngoyo
untuk memiliki, memiliki itu ada tangan takdir yang bermain di situ. Kita hanya
di perintahkan untuk saling mengenal kehidupan yang bhineka ini. Untuk bisa
menebar cinta ke semua mahluk yang ada di muka bumi ini.
Mencintai
yang lebih tua itu secara norma malu-maluin? Bisa jadi malu-maluin, bisa jadi
juga gak. Tergantung dari sisi mananya kita mau menilai, tergantung dari sisi
manaya kita mau mempresepsikan nya bukan? Seorang gadis belasan tahun nikah
sama kakek yang berumur 60 tahun ya malu-maluinlah, meskipun seorang laki-laki
itu sampai mati masih bisa kuat secara biologis. Tapi apa ya mau dengan kulit
keriput? Sebaliknya seorang jejaka menikahi nenek-nenek usia 60 tahun, ya sudah
mens pause di tambah tidak subur secra biologis. Kita mau Cuma ngurus seperti
baby sister saja? Kalau jawabanya iya saya acungin jempol ketulusan anda sudah
sangat tinggi.
Akh
sebenarnya saya sendiri juga bingung dengan tema tentang cinta, karena bagi
saya anda sendiri sudah punya pengalaman cinta yang lebih dari pada saya. Barang
kali cinta anda juga sudah mampu termanifestasi sebagai cinta yang tulus, bukan
lagi ke hamba tapi juga ke sang Maha Cinta bukan? Semoga iya amiin.
Banyak
sekali manusia menyalah artikan cinta mereka tiada menyadari dan tiada mampu
membedakan antara cinta dan nafsu. Lah gimana mau menyadari cinta orang
cintanya juga di balut dengan nafsu iya kan? Kalau ada orang yang hamil duluan
itu kalau bilang kita sama-sama cinta kepret saja yang bilang seperti itu. itu
sama-sama nafsu bukan sama-sama cinta.
Kenapa
lagu-lagu di dunia banyak bertemakan cinta? Bagi saya ya biarin saja hak mereka
mau mencipta lagu cinta. Dari pada menciptakan lagu-lagu yang mengandung
kebencian? Hayoo. Cinta memang tak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia. Penciptaan
manusia juga tak lepas dari yang namanya cinta. Dari cinta kasih ayah dan ibu
kemudiana atas izin dan ridho Tuhan kita tercipta. Algu-lagu yang bertemakan
cinta juga agaknya lebih laku, karena jumlah pemuda dan pemudi lebih banyak. Coba
kalau yang banyak lansia nya pasti lagu-lagunya bertemakan akhirat, bertemakan
religiusitas dan itu lebih laku dipasaran.
Cinta
identic dengan pemuda benarkah? Gak juga kali, cinta itu tak memandang usia,
ruang dan waktu. Datang dengan tiba-tiba, lewat obrolan pertama, atau pandangan
pertama atau apa-apalah yang pertama terserah anda saja maunya mana yang
pertama. Yang terpenting itu justru yang terakhir sebenarnya. Kita harusnya
lebih memilih jadi yang terakhir kalau konteks cinta kita relashionship, buat
apa kita jadi yang pertama kalau ujungnya tak jadi yang terakhir? Tidak apa-apa
jadi yang ke sepuluh atau yang ke seratus asalkan kita itu yang terakhir sebagai
tempat berlbuhan cinta dari pasangan kita.
Lalu
cinta itu apa? Kenapa aku bisa cinta kenapa dia bisa cinta? Nah ini jawabanya. Sebanarnya
cinta itu tanpa kenapa? Cinta yang berlandaskan kenapa itu hanya merujuk ke sebab
akibat. Sebab kau cantik, sebab kau ganteng, sebab kau kaya, sebab kau pintar,
sebab kau terkenal dan lain sebagainya. Kemudian akibatnya aku suka, aku cinta.
Cinta itu benar-benar bukan masalah sebab akibat. Cinta itu hadir dengan
perantara tangan takdir, itulah cinta yang tulus. Tak perlu memaksakan kehendak
itulah cinta yang tanpa kenapa. Cinta yang tanpa kenapa tidak akan memandang
seseorang dari persepsi sudut yang sempit. Jika ada 1000 pasangan batu bata,
cinta yang tanpa kenapa akan memandang 999 batu bata yang terpasang rapi,
sedang merekan yang mencinta dengan kenapa akan hanya memandang satu batu bata
yang di pasang agak kurang rapi.
Cinta
itu mestinya tidak hanya memfocuskan pada titik namun lebih ke kertasnya. Cinta
itulah yang akan saling menguatkan kehendak satu sama lainya. Kalau dia kelak
tak bersama ku bagaimana? Itu bukan ranah kita membahas hal semacam itu, itu
sudah menjadi kehendak dan jalan Tuhan, barang kali dengan orang lain dia akan
jauh lebih baik jika di bandingkan dengan diri kita.
Marilah
mencintai dan di cintai dengan tanpa alasan. Mencintailah hanya karena memang
kita memang sudah seharusnya mencitai. Marilah tetap arungi samudra hidup, dan
berlabuhlah dipulau yang tepat bukan sekedar pulau indah di penampakan indrawi.
Berlabuhlah di pulau yang akan menghidupi kita, hingga kita tak bisa merangkai
kata menjelaskan pujian kepada-Nya atas kenikmatan di berikan pulau yang
memberi manfaat kepada kita.