Wednesday, April 10, 2013

Bagaikan Api dalam Sekam

0 comments
Bagaikan Api di dalam Sekam
Pepetah ini agak nya mencoba menguraikan suatu kejahatan yang terus disimpan akan lama membebesar. Karena saya kurang suka dengan kenegatifan maka saya mempersepsikan hal itu sebagai kekuatan yang terpendam dalam diri seorang. Bagaimana tidak api yang dalam sekam itu tidak tampak adanya api tapi di dalamnya berupa bara yang kalau kita mbuluske (memasukan) tangan kita ke situ hangus tangan kita. Api dalam sekam sering kali kurang di pandang sebagai api yang menyala-nyala, karena memang tak nyala sih. Orang hanya melihat kepula asap putih atau bahkan hitam pekat.
Api, merupakan unsur yang tidak bisa lepas dari  kehidupan manusia. Entah apa yang bakalan terjadi jika hidup ini tidak ada yang namanya api. Makan yang serba mentah lah, minum air mentah lah. Semua serba alami, natural tanpa pembakaran atau sejenisnya. Api yang konon di temukan pada masa lamau karena adanya petir ini sampai sekarang menjadikan kehidupan kita terasa lebih baik. Ada kehangatan yang kita dapati ketika adanya api ini. Adanya kelezatan ketika makan ketika adanya api. Api adalah kekutan, apa adalah unsur yang mengajarkan berbagai hal tentang hidup ini.
Api yang dalam sekam tadi mengilustrasikan suatu kekuatan yang sangat luar biasa dari seorang manusia. Kekuatan inilah yang kurang di pandang oleh kita. potensi-potensi yang terpendam dalam diri kita sering kali terabaikan oleh diri kita sendiri. Sehingga sosial hanya memandang kita sebagai api dalam sekam. Kita hanya terlihat sebagai asap yang mohon maaf hanya sebagai polusi. Atau akalu kita kembalikan ke diri kita, kita hanyalah sebagai sampah masyarakat. Adanya kita tidak dianggap sebgai adanya kita. kita useless, ini sangat miris sekali ketika hidup yang begitu singkat ini kita menjadi manusia yang tidak memiliki peran apa-apa dalam bermasyrakat. Kita tidak memiliki peran apa-apa untuk kehidupan diri kita, keluarga dan sahabat-sahabat kita.
Api yang hanya dalam sekam, kekuatan atau potensi yang hanya tersimpan untuk diri sendiri. Kekuatan apapun kalau hanya untuk diri sendiri tiada akan memberikan dampak apapun dalam kehidupan kita ini. Entah itu kekayaan, jabatan yang tinggi, kepinteran atau kemampuan kita dalam bidang tertentu dan lain sebagainya kalau kita tidak memanfaatkanya itu percuma. Seperti ilmu saja kalau tak bermanfaat seperti pohon yang tak berbuah (sabda nabi Muhammad) pohon yang tak berbuah hanya akan menjadi pohon sebagai tempat berteduh tanpa memberikan esensi pohon itu untuk kebermanfaatan. Itu masih mending pohon nah kalau yang terjadi di kita sebagai manusia yang useless?
Manusia sekarang memang agaknya sudah menjadikan segala sesuatunya serba sendiri. Rasa saling berbagi manusia menurun drastic. Andai saja LSI juga mau mensurvei tingkat berbagi rakyat Indonesia mungkin akan menunjukan grafik dari tahun ke tahun selalu menuru. Tapi lembaga yang konon independent dan semoga memang independent ini terlalu sibuk ngurusi elektabilitas calon pemimpin negeri. Akh biarkan sajalah semua memang sudah menjadi bagian masing-masing. Tapi saya mengajak diri saya dan semuanya saja mari kita menjadi pensurvei setiap apapun penurunan nilai moral kita yang waduh dampaknya tidak sepele loh. Kalau masing-masing kita menjadi pengkontrol setidaknya nilai-nilai yang mulai memudar dari masyarakat dapat kita bangun kembali kita jaga lagi.
Berbagi segala hal merupakan ciri yang telah di wariskan kepada kita sebagai insan yang terlahir di bumi nusantara ini. Dengan konsep berbagi ini semua tataran masyarakat akan berjalan dengan harmonis. Iya orang yang tidak memiliki beras bisa meminjam ke tetangganya. Orang yang lapar tidak terus-terusan lapar. Istilah modernya yang kaya tidak semakin kaya, yang miskin tidak makin miskin. Ini konon dampak dari isme dari luar yah? Akh saya tidak mau tahu isme apa ini. Dan saya juga menganjurkan isme tersebut untuk tidak di cari di google. Kembalilah ke gotong royong, kembalilah ke nilai saling memberi saling berbagi.
Gotong royong meskipun sekarang mungkin hanya di pakai partai politik saat pencalonan presiden saja. Kemudian setelah menjadi pejabat mereka tidak lagi mau bergotong royong membangun negeri malah mementingkan partainya. Akh itu juga biarkan sajalah, kita jagan terlalu jauh untuk berpikir ke sana kembali sudah ada bagian masing-masing. Yang sudah saatnya kita lakukan yaitu menanamkan kembali gotong royong di masyarakat. Dulu saat saya masih kecil kalau tetangga membuat rumah kita berduyun-duyun membantu, misalnya menaikan genteng. Bahagia dengan upah makan dengan telur goreng santan. Namun sekarang sialnya pemikiran materealisme menjalar ke darah mereka yang berkantong tebal. Gotong royong di bayar, jadi ekspektasinya ketika tidak di bayar mereka masyarakat bawah akan enggan untuk melakukanya. Timbulnya semuanya berubah seketika menjadi serba materealisme. Orang menarik sumbangan saja jangan di kira mereka tidak di kasih bayaran? Mereka meminta jatah dari hasil uang sumbangan itu. Padahal sebelumnya masyarakat bergotong royong dengan suka rela ketika melakukan hal semacam sumbangan atau ngelolak (memasang batu) di jalan mereka begitu antusias dan bersemangat. Hal semacam ini terjadi di desa tempat saya tinggal loh, beberapa tahun belakang ini sih saya tidak tahu kalau ditempat anda, semoga saja tidak.
Lapisan masyarakat kita terkesan rapuh, dan memang nyatanya sekarang begitu rapuh. Karena semua beranjak dan memulai segala hal sendiri-sendiri. Memang tujuannya untuk mendidik menjadi manusia mandiri. Tapi perlu digaris bawahi mandiri bukan berarti anti sosial, anti empaty terhadap sesama. Hal inilah yang mungkin menurut saya di salah mengerti oleh kita saat ini. Kita terkesan mandiri dan segala sesuatunya bisa dilakukan sendiri dengan kekuatan kita. dengan tangan kita semua bisa kita lalukan sendiri. Rupanya hal ini yang kemudian manjdikan masyrakat kita mudah hancur, mudah pecah, mudah tersulut emosinya.
Marilah kita hidup saling berbagi dengan apa yang kita miliki. Kuatkan lagi nilai-nilai moral kita untuk menjadikan kehidupan ini lebih baik lagi.


0 comments:

Post a Comment