Bagaikan
Api di dalam Sekam
Pepetah ini agak nya
mencoba menguraikan suatu kejahatan yang terus disimpan akan lama membebesar.
Karena saya kurang suka dengan kenegatifan maka saya mempersepsikan hal itu
sebagai kekuatan yang terpendam dalam diri seorang. Bagaimana tidak api yang
dalam sekam itu tidak tampak adanya api tapi di dalamnya berupa bara yang kalau
kita mbuluske (memasukan) tangan kita
ke situ hangus tangan kita. Api dalam sekam sering kali kurang di pandang
sebagai api yang menyala-nyala, karena memang tak nyala sih. Orang hanya
melihat kepula asap putih atau bahkan hitam pekat.
Api, merupakan unsur
yang tidak bisa lepas dari kehidupan
manusia. Entah apa yang bakalan terjadi jika hidup ini tidak ada yang namanya
api. Makan yang serba mentah lah, minum air mentah lah. Semua serba alami,
natural tanpa pembakaran atau sejenisnya. Api yang konon di temukan pada masa
lamau karena adanya petir ini sampai sekarang menjadikan kehidupan kita terasa
lebih baik. Ada kehangatan yang kita dapati ketika adanya api ini. Adanya
kelezatan ketika makan ketika adanya api. Api adalah kekutan, apa adalah unsur
yang mengajarkan berbagai hal tentang hidup ini.
Api yang dalam sekam
tadi mengilustrasikan suatu kekuatan yang sangat luar biasa dari seorang
manusia. Kekuatan inilah yang kurang di pandang oleh kita. potensi-potensi yang
terpendam dalam diri kita sering kali terabaikan oleh diri kita sendiri.
Sehingga sosial hanya memandang kita sebagai api dalam sekam. Kita hanya terlihat
sebagai asap yang mohon maaf hanya sebagai polusi. Atau akalu kita kembalikan
ke diri kita, kita hanyalah sebagai sampah masyarakat. Adanya kita tidak
dianggap sebgai adanya kita. kita useless, ini sangat miris sekali ketika hidup
yang begitu singkat ini kita menjadi manusia yang tidak memiliki peran apa-apa
dalam bermasyrakat. Kita tidak memiliki peran apa-apa untuk kehidupan diri
kita, keluarga dan sahabat-sahabat kita.
Api yang hanya dalam
sekam, kekuatan atau potensi yang hanya tersimpan untuk diri sendiri. Kekuatan
apapun kalau hanya untuk diri sendiri tiada akan memberikan dampak apapun dalam
kehidupan kita ini. Entah itu kekayaan, jabatan yang tinggi, kepinteran atau
kemampuan kita dalam bidang tertentu dan lain sebagainya kalau kita tidak memanfaatkanya
itu percuma. Seperti ilmu saja kalau tak bermanfaat seperti pohon yang tak
berbuah (sabda nabi Muhammad) pohon yang tak berbuah hanya akan menjadi pohon
sebagai tempat berteduh tanpa memberikan esensi pohon itu untuk kebermanfaatan.
Itu masih mending pohon nah kalau yang terjadi di kita sebagai manusia yang useless?
Manusia sekarang memang
agaknya sudah menjadikan segala sesuatunya serba sendiri. Rasa saling berbagi
manusia menurun drastic. Andai saja LSI juga mau mensurvei tingkat berbagi
rakyat Indonesia mungkin akan menunjukan grafik dari tahun ke tahun selalu
menuru. Tapi lembaga yang konon independent dan semoga memang independent ini
terlalu sibuk ngurusi elektabilitas calon pemimpin negeri. Akh biarkan sajalah
semua memang sudah menjadi bagian masing-masing. Tapi saya mengajak diri saya
dan semuanya saja mari kita menjadi pensurvei setiap apapun penurunan nilai
moral kita yang waduh dampaknya tidak sepele loh. Kalau masing-masing kita
menjadi pengkontrol setidaknya nilai-nilai yang mulai memudar dari masyarakat
dapat kita bangun kembali kita jaga lagi.
Berbagi segala hal
merupakan ciri yang telah di wariskan kepada kita sebagai insan yang terlahir
di bumi nusantara ini. Dengan konsep berbagi ini semua tataran masyarakat akan
berjalan dengan harmonis. Iya orang yang tidak memiliki beras bisa meminjam ke
tetangganya. Orang yang lapar tidak terus-terusan lapar. Istilah modernya yang
kaya tidak semakin kaya, yang miskin tidak makin miskin. Ini konon dampak dari
isme dari luar yah? Akh saya tidak mau tahu isme apa ini. Dan saya juga
menganjurkan isme tersebut untuk tidak di cari di google. Kembalilah ke gotong
royong, kembalilah ke nilai saling memberi saling berbagi.
Gotong royong meskipun
sekarang mungkin hanya di pakai partai politik saat pencalonan presiden saja.
Kemudian setelah menjadi pejabat mereka tidak lagi mau bergotong royong
membangun negeri malah mementingkan partainya. Akh itu juga biarkan sajalah,
kita jagan terlalu jauh untuk berpikir ke sana kembali sudah ada bagian
masing-masing. Yang sudah saatnya kita lakukan yaitu menanamkan kembali gotong
royong di masyarakat. Dulu saat saya masih kecil kalau tetangga membuat rumah
kita berduyun-duyun membantu, misalnya menaikan genteng. Bahagia dengan upah
makan dengan telur goreng santan. Namun sekarang sialnya pemikiran materealisme
menjalar ke darah mereka yang berkantong tebal. Gotong royong di bayar, jadi
ekspektasinya ketika tidak di bayar mereka masyarakat bawah akan enggan untuk
melakukanya. Timbulnya semuanya berubah seketika menjadi serba materealisme.
Orang menarik sumbangan saja jangan di kira mereka tidak di kasih bayaran?
Mereka meminta jatah dari hasil uang sumbangan itu. Padahal sebelumnya
masyarakat bergotong royong dengan suka rela ketika melakukan hal semacam
sumbangan atau ngelolak (memasang batu) di jalan mereka begitu antusias dan
bersemangat. Hal semacam ini terjadi di desa tempat saya tinggal loh, beberapa
tahun belakang ini sih saya tidak tahu kalau ditempat anda, semoga saja tidak.
Lapisan masyarakat kita
terkesan rapuh, dan memang nyatanya sekarang begitu rapuh. Karena semua
beranjak dan memulai segala hal sendiri-sendiri. Memang tujuannya untuk
mendidik menjadi manusia mandiri. Tapi perlu digaris bawahi mandiri bukan
berarti anti sosial, anti empaty terhadap sesama. Hal inilah yang mungkin
menurut saya di salah mengerti oleh kita saat ini. Kita terkesan mandiri dan
segala sesuatunya bisa dilakukan sendiri dengan kekuatan kita. dengan tangan
kita semua bisa kita lalukan sendiri. Rupanya hal ini yang kemudian manjdikan masyrakat
kita mudah hancur, mudah pecah, mudah tersulut emosinya.
Marilah kita hidup
saling berbagi dengan apa yang kita miliki. Kuatkan lagi nilai-nilai moral kita
untuk menjadikan kehidupan ini lebih baik lagi.
0 comments:
Post a Comment