Menikmati
perjalan agaknya hal yang begitu special di negeri ini. Bagaimana tidak jalanan
di negeri ini bisa di bilang masih jauh dari harapan bagus. Terutama jalanan
yang berada di sekitar perkampungan. Dan jalanan yang ada di
kecamatan-kecamatan yang nota bene berada di kota yang kecil. Jalanan yang
nampaknya halus ternyata bergelombang. Jalanan berlubang adalah hal yang wajar
bagi sebagian warga negeri ini. Itu masih mending dari pada jalan-jalan di
pedesaan yang masih menggunakan batu dan rusaknya parah. Dimana peran
pemerintah? Jenuh sebenarnya bertanya ke pemerintah dalam mnegatasi
infrastruktur di negeri ini. Perubahan memang harus di mulai dari sendiri tapi
kalau masalah ini kita sebagai rakyat kecil ya jelas tidak punya cukup uang
untuk membangun jalanan. Kita di beri kewajiban bayar pajak bagi saya itu
sebagai upaya perubahan, sebagai langkah perubahan tinggal bagaimana yang
mengelola negeri ini mau tidaknya memanejemen dengan baik. Jelas di kembalikan
ke masyarakat sebagai pondasi utamanya. Jelas bukan partai, ingat jelas bukan
partai.
Keberalihan
fungsi di negeri ini memang sudah begitu parahnya. Mohon maaf saja kalau kita
sering melintasi penyebrangan di jalan. Mohon maaf bukanya polisi lalu lintas
yang kerap kali menyebrangkan masyarakat, anak-anak, atau orang tua. Tapi tukang
parkir, dan orang-orang yang dengan suka rela berdiri di tengah jalan
menyebrangkan mobil atau orang-orang yang hendak melintasi jalan. Saya rasa
mereka melakukan bukan karena kebutuhan mereka semata yakni mencari uang yang
jumlahnya jelas tak seberapa. Tapi lebih karena hati mereka terketuk untuk
menyelamatkan nyawa-nyawa yang hendak menyebrang jalan yang sekarang sudah
makin amburadul karena ugal-ugalannya para pengendara. Jangan khawatir toh
presiden juga sering ugal-ugalan dijalan loh. Buktinya kalau mau melintasi
jalan harus di iringi dengan mobil-mobil dan motor yang mohon maaf tidak
mungkin laju mereka 20 km/jam pasti tuit-tuitt dengan kencangnya.
Kemaren
tanggal 5 mei 2013 saya melakukan perjalan pulang dari Jogjakarta ke Paguyangan
Kabupaten Brebes. Gosipnya si brebes masuk kabupaten termiskin Jawa Tengah
ironis sekali. Di tengah melimpahnya
sumber daya alam brebes masuk dalam daftar kabupaten termiskin jawa tengah. Bukanya
apa-apa selama perjalanan dengan motor saya mengamati betul betapa memang jawa
tengah terkenal dengan rusaknya infrastruktur terutama jalananya. Bisa anda
coba sendirilah, tanpa membading-bandingkan ketika sehabis DIY anda memsasuki
Jawa Tengah akan sangat terasa betapa jalanan itu sudah terasa rusaknya. Suntikan
dan tambalan agaknya lebih di pilih ketimbang membangun dan memperbaiki. Padahal
jalan adalah bagian yang begitu penting dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Kembali
lagi ke daerah brebes, bisa jadi daftar kebupaten termiskin jawa tengah
menyeret brebes karena alasan infrastuktur brebes yang memang begitu kacau. Jalanan
di brebes terkesan tidak pernah di urus. Kalau mau investigasi lagi ke
plosok-plosok daerah bisa di bayangkan betapa tersiksanya masyarakat negeri ini
dengan keadaan jalan ini. Jalanan yang rusak bukan hanya menghambat laju
ekonomi tapi juga akan membahayakan masyarakatnya. Ini lah yang agaknya kurang
di sadari oleh pemerintah kita. Percuma dan sia-sia kalau kampanye taat lalu
lintas itu di gembor-gemborkan toh kalau jalananya rusak tetap membahayakan
masyarakat bukan?
Terus
apa pokok pembangunan pemerintah yang menyentuh rakyat miskin di pedesaan? Apa program
kerja pemerintah untuk kawasan yang sangat jarang di jamah oleh program
pemerintah? Saya pernah dengar ada kementrian Daerah Tertinggal tetapi kok
hanya ke beberapa daerah saja apa mereka tidak punya staff yang bisa
menginvestigasi ke plosok-plosok negeri ini? Stigma bahwasanya jawa tidak
termasuk dalam golongan desa atau daerah tertinggal ini hanyalah kedok busuk. Di
jawa banyak daerah yang tertinggal. Pemerintah harusnya lebih menggunakan
barometer yang tepat untuk mengukur seberapa tertinggalnya suatu daerah
kemudian menyiapkan program kerja yang berbeda pula untuk masing-masing daerah.
Ada skala target yang mesti pemerintah utamakan dalam setahun dalam sebulan
dalam seminggu dalam sehari. Jadi semua bekerja atas dasar target bukan karena
awang-awangan/analisis buta. Orang-orang
pemerintah harus mau melihat pedesaan harus mau melihat kondisi pedesaan. Kan ada
kelurahan sebagai wakil pemerintah? Kan ada wakil lurah di masing-masing dusun?
Kan ada wakil RT di setiap kompleks. Memang semua ada wakilnya tetapi apakah yakin
dengan kinerja mereka di lapangan? Masyarakat desa yang jelas tidak tahu menahu
mau dana di korupsi mau tidak tidak peduli yang mereka tahu fasilitas yang
memperlancar kehidupan di penuhi. Jadi perlu ada perencanaan dalam setiap mengambil
langkah dengan terjun langsung melihat permasalahan yang ada.
Jangan
biarkan masyarakat negeri ini merasa tersiksa di negeri sendiri. Merasa terjajah
di negeri sendiri merasa jadi budak di negeri sendiri. Jangan biarkan
masyarakat kecil mengorbankan jiwa raganya demi para koruptor. Mayrakat sejatinya
sudah jenuh dengan carut marut negeri ini. Cuma presiden dan ajajaranya yang
terlalu tuli terlalu enggan untuk membaur dengan mayarakat. Akun twitter
presiden yang semestinya jadi bahan curhat mayarakat ke pimpinanya di pegang
stafnya. Lah masyarakat ini sudah tidak bodoh lagi. Apa kah jawaban staff akan
sama dengan presiden? Jelas bedalah lah wong beda kepala kok. Ini lah betapa
mirisnya hidup di tengah kemunafikan yang terorganisir. Sekali ada yang baik
pasti di bilang pencitraan, jelas lah lah masyarakat sudah sering di kibulin
sih. Jadi jangan salah kalau pandangan masyarakat seperti ini. Jangan sakit
hati juga kalau di bilang pencitraan.
kembali
lagi ke masalah jalan sebagai poko utama bahasan saya. Entah kenapa saya sering
terkagum-kagum dengan orang yang sering di jalanan meminta uang ala kadarnya. Mohon
maaf bukan menjelek-jelekan peranan mereka, bukan. Justru saya malah bangga
dengan mereka yang mau mengatur lalu lintas kala jembatan atau jalanan rusak. Mereka
dengan papan putih bertuliskan “hati-hatai ada pembangunan jalan atau jalanan
rusak” dengan warna merah dan semacam ember atau kotak sejenisnya meminta
pungutan uang. Jelas uang ala kadarnya untuk menganjal perut mereka yang
mengatur lalu intas. Yang ajdi pertanyaan saya kenapa kembali lagi masyarakat
yang jadi korban? Kenapa pengatur lalu lintas bukan mereka yang sudah menempati
jabatan dengan diskripsi pekerjaan ngatur lalu lintas? Sopir-sopir jelas tidak keberatan memberikan
uang 500 samapai 1000 perak. Namun keahlian mengatur lalu lintas juga perlu di
pertanyakan. Kalau asal ngatur bukan saja membahayakan si pengatur namun juga
yang melintasi jalanan tersebut. Ini kembali menjadi potret suram betapa kita
saat ini masih terjajah di negeri sendiri.
Semoga
siapapun yang membaca tulisan saya yang setengah emosi ini mampu menyerap yang
baik dan mampu membuang yang kotor. Generasi muda harus tetap menajdi observer
dan perubahan bagi lingkungan negeri ini. Semata karena kewajiban kita. Luangkan
lah waktu untuk memikirkan negeri ini meskipun negeri ini kurang menganggap
adanya kita.
0 comments:
Post a Comment