Wednesday, May 8, 2013

Carut Marut Negeriku

0 comments

Menikmati perjalan agaknya hal yang begitu special di negeri ini. Bagaimana tidak jalanan di negeri ini bisa di bilang masih jauh dari harapan bagus. Terutama jalanan yang berada di sekitar perkampungan. Dan jalanan yang ada di kecamatan-kecamatan yang nota bene berada di kota yang kecil. Jalanan yang nampaknya halus ternyata bergelombang. Jalanan berlubang adalah hal yang wajar bagi sebagian warga negeri ini. Itu masih mending dari pada jalan-jalan di pedesaan yang masih menggunakan batu dan rusaknya parah. Dimana peran pemerintah? Jenuh sebenarnya bertanya ke pemerintah dalam mnegatasi infrastruktur di negeri ini. Perubahan memang harus di mulai dari sendiri tapi kalau masalah ini kita sebagai rakyat kecil ya jelas tidak punya cukup uang untuk membangun jalanan. Kita di beri kewajiban bayar pajak bagi saya itu sebagai upaya perubahan, sebagai langkah perubahan tinggal bagaimana yang mengelola negeri ini mau tidaknya memanejemen dengan baik. Jelas di kembalikan ke masyarakat sebagai pondasi utamanya. Jelas bukan partai, ingat jelas bukan partai.

Keberalihan fungsi di negeri ini memang sudah begitu parahnya. Mohon maaf saja kalau kita sering melintasi penyebrangan di jalan. Mohon maaf bukanya polisi lalu lintas yang kerap kali menyebrangkan masyarakat, anak-anak, atau orang tua. Tapi tukang parkir, dan orang-orang yang dengan suka rela berdiri di tengah jalan menyebrangkan mobil atau orang-orang yang hendak melintasi jalan. Saya rasa mereka melakukan bukan karena kebutuhan mereka semata yakni mencari uang yang jumlahnya jelas tak seberapa. Tapi lebih karena hati mereka terketuk untuk menyelamatkan nyawa-nyawa yang hendak menyebrang jalan yang sekarang sudah makin amburadul karena ugal-ugalannya para pengendara. Jangan khawatir toh presiden juga sering ugal-ugalan dijalan loh. Buktinya kalau mau melintasi jalan harus di iringi dengan mobil-mobil dan motor yang mohon maaf tidak mungkin laju mereka 20 km/jam pasti tuit-tuitt dengan kencangnya.

Kemaren tanggal 5 mei 2013 saya melakukan perjalan pulang dari Jogjakarta ke Paguyangan Kabupaten Brebes. Gosipnya si brebes masuk kabupaten termiskin Jawa Tengah ironis sekali.  Di tengah melimpahnya sumber daya alam brebes masuk dalam daftar kabupaten termiskin jawa tengah. Bukanya apa-apa selama perjalanan dengan motor saya mengamati betul betapa memang jawa tengah terkenal dengan rusaknya infrastruktur terutama jalananya. Bisa anda coba sendirilah, tanpa membading-bandingkan ketika sehabis DIY anda memsasuki Jawa Tengah akan sangat terasa betapa jalanan itu sudah terasa rusaknya. Suntikan dan tambalan agaknya lebih di pilih ketimbang membangun dan memperbaiki. Padahal jalan adalah bagian yang begitu penting dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Kembali lagi ke daerah brebes, bisa jadi daftar kebupaten termiskin jawa tengah menyeret brebes karena alasan infrastuktur brebes yang memang begitu kacau. Jalanan di brebes terkesan tidak pernah di urus. Kalau mau investigasi lagi ke plosok-plosok daerah bisa di bayangkan betapa tersiksanya masyarakat negeri ini dengan keadaan jalan ini. Jalanan yang rusak bukan hanya menghambat laju ekonomi tapi juga akan membahayakan masyarakatnya. Ini lah yang agaknya kurang di sadari oleh pemerintah kita. Percuma dan sia-sia kalau kampanye taat lalu lintas itu di gembor-gemborkan toh kalau jalananya rusak tetap membahayakan masyarakat bukan?

Terus apa pokok pembangunan pemerintah yang menyentuh rakyat miskin di pedesaan? Apa program kerja pemerintah untuk kawasan yang sangat jarang di jamah oleh program pemerintah? Saya pernah dengar ada kementrian Daerah Tertinggal tetapi kok hanya ke beberapa daerah saja apa mereka tidak punya staff yang bisa menginvestigasi ke plosok-plosok negeri ini? Stigma bahwasanya jawa tidak termasuk dalam golongan desa atau daerah tertinggal ini hanyalah kedok busuk. Di jawa banyak daerah yang tertinggal. Pemerintah harusnya lebih menggunakan barometer yang tepat untuk mengukur seberapa tertinggalnya suatu daerah kemudian menyiapkan program kerja yang berbeda pula untuk masing-masing daerah. Ada skala target yang mesti pemerintah utamakan dalam setahun dalam sebulan dalam seminggu dalam sehari. Jadi semua bekerja atas dasar target bukan karena awang-awangan/analisis buta.  Orang-orang pemerintah harus mau melihat pedesaan harus mau melihat kondisi pedesaan. Kan ada kelurahan sebagai wakil pemerintah? Kan ada wakil lurah di masing-masing dusun? Kan ada wakil RT di setiap kompleks. Memang semua ada wakilnya tetapi apakah yakin dengan kinerja mereka di lapangan? Masyarakat desa yang jelas tidak tahu menahu mau dana di korupsi mau tidak tidak peduli yang mereka tahu fasilitas yang memperlancar kehidupan di penuhi. Jadi perlu ada perencanaan dalam setiap mengambil langkah dengan terjun langsung melihat permasalahan yang ada.

Jangan biarkan masyarakat negeri ini merasa tersiksa di negeri sendiri. Merasa terjajah di negeri sendiri merasa jadi budak di negeri sendiri. Jangan biarkan masyarakat kecil mengorbankan jiwa raganya demi para koruptor. Mayrakat sejatinya sudah jenuh dengan carut marut negeri ini. Cuma presiden dan ajajaranya yang terlalu tuli terlalu enggan untuk membaur dengan mayarakat. Akun twitter presiden yang semestinya jadi bahan curhat mayarakat ke pimpinanya di pegang stafnya. Lah masyarakat ini sudah tidak bodoh lagi. Apa kah jawaban staff akan sama dengan presiden? Jelas bedalah lah wong beda kepala kok. Ini lah betapa mirisnya hidup di tengah kemunafikan yang terorganisir. Sekali ada yang baik pasti di bilang pencitraan, jelas lah lah masyarakat sudah sering di kibulin sih. Jadi jangan salah kalau pandangan masyarakat seperti ini. Jangan sakit hati juga kalau di bilang pencitraan.

kembali lagi ke masalah jalan sebagai poko utama bahasan saya. Entah kenapa saya sering terkagum-kagum dengan orang yang sering di jalanan meminta uang ala kadarnya. Mohon maaf bukan menjelek-jelekan peranan mereka, bukan. Justru saya malah bangga dengan mereka yang mau mengatur lalu lintas kala jembatan atau jalanan rusak. Mereka dengan papan putih bertuliskan “hati-hatai ada pembangunan jalan atau jalanan rusak” dengan warna merah dan semacam ember atau kotak sejenisnya meminta pungutan uang. Jelas uang ala kadarnya untuk menganjal perut mereka yang mengatur lalu intas. Yang ajdi pertanyaan saya kenapa kembali lagi masyarakat yang jadi korban? Kenapa pengatur lalu lintas bukan mereka yang sudah menempati jabatan dengan diskripsi pekerjaan ngatur lalu lintas?  Sopir-sopir jelas tidak keberatan memberikan uang 500 samapai 1000 perak. Namun keahlian mengatur lalu lintas juga perlu di pertanyakan. Kalau asal ngatur bukan saja membahayakan si pengatur namun juga yang melintasi jalanan tersebut. Ini kembali menjadi potret suram betapa kita saat ini masih terjajah di negeri sendiri.

Semoga siapapun yang membaca tulisan saya yang setengah emosi ini mampu menyerap yang baik dan mampu membuang yang kotor. Generasi muda harus tetap menajdi observer dan perubahan bagi lingkungan negeri ini. Semata karena kewajiban kita. Luangkan lah waktu untuk memikirkan negeri ini meskipun negeri ini kurang menganggap adanya kita.



0 comments:

Post a Comment