Monday, June 10, 2013

Petaka di Bulan Desember

0 comments

Desember adalah bulan penuh dengan kebahagian. Di Bulan desember  cairnya gaji ke tiga belas. Bulan desember penuh dengan target atau yang sering di sebut resolusi awal tahun. Bulan di akhir perhitungan masehi ini memang di rasa begitu spesial bagi sebagian besar orang di dunia ini.
Namun bulan desember agaknya tidak begitu indah bagi si Atun. Gadis pekerja sebagai cleaning service di salah satu pabrik di kota jakarta. Sebagai seorang cleaning service Atun bisa dibilang cantik. Temen-temennya di tempat kerja sering menggodainya dengan sebutan cleaning service berparas pramugari. Tubuhnya yang tinggi dengan rambut panjang dan gigi yang tertata rapi, memang membuat atun lebih pantas bekerja sebagai pramugari. Namun apa daya pendidikan atun hanyalah seorang gadis tamatan SMP. Bisa bekerja di pabrik saja sudah bersyukur. Temen-temenya di pabrik sesama Cleaning Service memang lebih banyak berpendidikan tamatan SMA. Entah kenapa Atun bisa di terima bekerja di perusahaan tersebut. Atun datang dari sebuah desa di kecamatan paguyangan dengan bermodalkan tekat ingin merubah keadaan ekonomi keluarga.
Di desanya atun termasuk lulusan sekolah yang cukup tinggi. Pasalnya temen-temen sebaya atun tamatan SD bahkan kebanyakan tidak lulus SD. Atun di besarkan di keluarga yang bisa di bilang kental dengan agamis. Pada saat sekolah dasar paginya atun sekolah formal dan siangnya sekolah di madrasah diniyah. Sekolah diniyah merupakan sekolah untuk memperdalam ilmu agama. Jarak yang harus di tempuh pun untuk sampai di sekolah diniyah cukup jauh. 30 menitan dengan jalan kaki cepat. Melewati sungai dengan arus yang deras. Atun kecil memang penuh dengan semangat yang tinggi bersama teman-temanya dalam mencari ilmu pengetahuan.
Atun semasa sekolah dari SD, Madrasah Diniyah hingga SMP selalu mendapatkan ranking pertama. Atun memang gadis yang penuh tata krama dalam menjalankan aktivitasnya. Setiap kali berbicara dengan orang yang lebih tua dari dirinya selalu menggunakan bahasa kromo inggil. Bahsa yang dalam suku jawa menunjukan ketata kramaan. Di zaman sekarang agaknya bahasa semacam ini sudah hilang dari jiwa anak muda. Namun karena pendidikan dari orang tuanya atun mampu berkomunikasi dengan bahsa kromo ingil dengan fasih dan menunjukan betapa gadis ini penuh dengan sopan santun.
Juni 2009 Atun telah tamat dari SMP swasta di kecematan Paguyangan. Sabtu pagi saat itu orang tua Atun dengan memakai batik serasi seakan bangga menunjukan bahwa telah berhasil menyekolahkan anaknya lebih tinggi. Mereka bertiga bergegas menuju sekolah Atun yang jaraknya cukup jauh bisa di tempuh 1 jam jalan kaki. Karena memang tidak ada kendaran umum jadi jalan kaki menjadi pilihan paling tepat menuju sekolah Atun. Selain itu jalan yang harus di laluinya juga cukup terjal melalui bukit dan lembah yang kalau hujan bisa sangat licin dan becek. Namun pagi yang cerah saat itu seakan melengkapi kebahagian orang tua Atun.
Pak Sutrisno dan Ibu Saliem iya itulah nama orang tua Atun. Nama yang santer jadi pembicaraan warga desa karena meski hidup serba kekurangan namun masih bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat SMP. Hampir semua warga dusun membicarakan Pak Sutrisno yang dengan gigih menyekolahkan Atun. Pak Sutrisno dan Ibu Saliem hanyalah seorang petani. Mereka berdua hidup hanya dengan bergantung pada tanah hutan. Tanah yang hanya bisa ditanami 2 kali dalam setahun dengan tanaman jagung. Dan di selingi dengan tanaman ubi dan pisang. Memang bukan hanya Pak Sutrisno saja yang menggantungkan hidup di hutan hampir semua warga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.
Pukul 13.00 WIB Pak Sutrisno, Ibu Saliem dan Atun kelihatan dengan muka bahagia meski terik mentari saat juni itu sedang musim kemarau. Dengan wajah merah-merah ciri khas orang gunung kalau terkena sinar mentari langsung merah. Belum sampai di rumah warga yang ada di jalan bertanya-tanya. “lulus gak tun? Lulus gak tun?, Ranking berapa tun?” dengan bangga meski keringat masih berkucurang Pak Sutrisno menjawab dengan latang “Alhamdulillah lulus Ranking 2”.
Rasa bangga Pak Sutrisno berlanjut malamnya dengan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Mengumpulkan warga dan memanjatkan doa di rumahnya. Menaruh harapan agar Atun bisa bermanfaat dan ilmunya bisa di gunakan dengan semestinya. Malam itu atun tampak begitu ceria serasa bebanya telah selesai. Mungkin Atun juga menyadari bahwa selesai dari SMP ini dia tidak akan melanjutkan ke SMA. Sekolah yang mungkin jadi dambaannya namun dia kubur dalam-dalam mimpinya untuk sekolah di SMA. Malam itu begitu khidmat dan penuh haru.
Dua minggu setelah Atun lulus, Atun memutuskan untuk pergi merantau ikut tetangganya yang bekerja di Jakarta. Jakarta memang bagi orang desa selalu menjanjikan. Segala impian mereka untuk menjadi kaya agaknya memang terukir di Jakarta. Dengan berpikiran semacam itu orang tua Atun pun merelakan dan mengizinkan anak Putri yang di sayanginya pergi ke ibu kota.
Malam senin tepatnya Atun meninggalkan desa dan merantau ke ibu kota. Hanya dengan mengantongi uang RP.400.000 hasil menjual kambing Atun nekat mengadu nasib di ibu kota. Dasarnya Atun memang baik, sesampainya di Jakarta tanpa menunggu lama dia di terima di sebuah Pabrik sepatu kulit. Menjadi karyawan cleaning service pabrik tak membuatnya minder atau surut semangat. Gadis yang masih di bawah umur harus di pekerjakan di pabrik. Aturan pemerintah saat itu masih membolehkan karyawan di bawah umur. Andai saja sekarang mungkin Atun tidak bisa bekerja. Karena untuk bekerja seorang harus memenuhi umur.
Hari terus berlalu sebulan sudah Atun bekerja sebagai Cleaning Servie. Saat tiba gaji pertama Atun cair. 1.000.000, uang yang nampaknya begitu besar bagi gadis desa seperti atun. Atun memang anak yang berbakti kepada orang tua. Hasil kerjanya setiap bulan dia kirimkan ke orang tuanya tentunya setelah di potong untuk kebutuhan di ibu kota yang memang begitu mencekik. Setiap bulan sembari kirim surat lewat pos Atun mengirimkan uangnya lewat wesel. Meskipun orang tuanya tidak dapat membaca dan menulis namun ada tentangga mas Abik yang biasanya membacakan surat untuk warga dusun. Mas Abik adalah guru ngaji Atun dan anak-anak dusun.
September akhir adalah lebaran. Momen yang begitu sakral dan hampir semua anak rantau pada kembali ke kampung halamanya. Semua seakan menunjukan keglamoran betapa kerja di Jakarta memang menjanjikan. Tak terkecuali Atun, sekarang Atun nampak bersih dan sudah bisa dandan. Meskipun masih berumur belasan badan Atun bisa di bilang bongsor (cepet tumbuhnya). Atun yang biasanya pake rok dari tambalan-tambalan kain kini sudah memakai jeans dan dengan kaos yang serasi. Paras Atun yang cantik memang membuat mata terpana melihatnya. Dan tak banyak mengira kalau gadis itu baru kemaren lulus SMP.
Sepekan sudah Atun berada di kampung halamanya. Sudah saatnya dia harus kembali menuju ibu kota tentunya untuk kembali mengadu nasib. Sembari berpelukan dengan ibu bapaknya Atun berpamitan.
Sesampai tiba di jakarta Atun di datangi temen-temen kontrakanya. Menanyakan oleh-oleh seperti biasanya orang yang baru pulang dari kampung. Atun mengeluarkan jajanan khas kampungnya dan dimakan bersama teman-temanya.
Bulan terus berlalu hingga akhirnya bulan desember. Iya bulan dimana cerita ini bermula. Cerita ini di hadirkan dalam goresan luka dan air mata. Atun gadis berparas cantik, klinik service dengan penampilan pramugari.
Menjelang malam pergantian tahun tanggal 31 Desember 2009. Atun pergi bersama teman-temanya untuk berlibur akhir tahun dan merayakan tahun baru 2010. Pabrik dan kantor libur dengan cuti bersama hingga 4 hari. Puncak menjadi pilihan Atun dan tema-temanya. Puncak memang selalu menjadi tempat favorit warga ibu kota ketika libur panjang. Puncak menghadirkan panorama yang begitu indah dan elok yang tentunya tidak akan di temui di kota metro politan seperti Jakarta.
Sesampainya di vila atun dan teman-temanya bergegas ke kamar dan membersihkan diri. Siap-siap untuk malam tahun baru dengan pesta kembang api. Bakaran dan jagung muda sudah siap. Tinggal di bakar saja. Minuman dari coca-cola hingga vodka tersaji di meja.
Semua bernyanyi dan begitu larut dalam pesta kecil-kecilan akhir tahun. Tibalah pukul 23.45, semua siap-siap untuk menyalakan kembang api dari berbagai ukuran dan bentuk. Semua akan teriak Happy new year. Dan apa yang menjadi petaka itu tiba. Pukul 23.55 tepatnya. 5 menit menjelang pergantian tahun baru. Kembang api telah menghiasi langit puncak malam itu. Dari berbagai vila dari berbagai sudut. Dengan warna warni menghiasi langit yang saat itu begitu cerah. Tiba-tiba tabung 3 KG lpj produk pemerintah meledak. Tabung LPG yang di gunakan untuk menggoreng naget. Yang sengaja di bawa ke taman. Harus meledak entah karena apa? Mungkin produk yang menjadi banggaan pemerintah pegganti minyak tanah ini penuh dengan permsalahan. Tabung itu mengenai muka dan sisa belahanya harus menghujam menusuk Atun dan seketika itu Atun menghembuskan nafas terakhir akibat terkena ledakan Gas LPG 3 Kg.
Gadis tulang punggung keluarga. Gadis cerdas yang harus terhenti sekolah karena biaya sekolah yang mahal yang tak bisa di jamah oleh kalangan ekonomi bawah. Gadis desa cerdas yang harus mati sia-sia karena ledakan Gas LPG 3 Kg.


Thursday, June 6, 2013

KARENA

0 comments
Karena
Bukan karena emosi puisiku tercipta
Bukan karena duka lara setiap jengkal kata ku rangkai mendayu-dayu
Bukan karena senja saja langit sore nampak indah merona
Bukan karena bahagia aku tersenyum
Bukan karena derita aku bersedih hati
Aku menulis puisi memang sudah seharusnya aku tulis
Mendayu-dayu memohon memang hanya Kau yang sanggup mendengarkan
Senja adalah perantara aku dan Kau melihat sore
Aku tersenyumpun karena Kau selalu mendekap dan menghiburku
Dan aku bersedih hati karena telah jauh namun Kau masih setia menanti hadirku
Tak pernah Kau marah meski aku datang dengan lusuh dan kumuh
Memang hidupku bukan karena apa-apa
Tetapi Kau menjadi kan hidup penuh Karena
Selamat malam aku Rindu Kekasih