Thursday, December 5, 2013

MAHA SATPAM

0 comments
          
            TANYA jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu mendadak meningkatkan nada suaranya.
             ”Saya sangat kecewa mengapa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang dating ke kuburan untuk meminta angka-angka buntutan! ” ia menuding-nuding , ”Itu jelas syirik, saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya yang sejak kelahirannya bermaksud memberantas segala tahayul, bidah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masyarakat kita sampai titik darah penghabisan!”
             Bapak ustadz terkesima.
             Isi pemikiran pemuda itu tidak aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun ”semangat juang”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajaknya Chairul Anwar ”Aku” atau ”Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltage suaranya meningkat? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari generasi satu ke generasi yang lain. Proporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti di terapkan, adalah soal kedua.
             ”Adik manis, maafkan saya kalau memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut, ”Tapi saya berharap aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga tidak bermaksud menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk tidak terlalu dingin terhadap gejala-gejala. Tetapi, nyuuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan Anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”
             Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.
             ”Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburankan macam-macam maunya. Ada yang mau cari tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang diminta tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan mala mini, jenuh di undang kesana-kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas, jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad-20 dari ’apa hukum merangkul rambut’ sampai ’memandang wanita itu zina apa tidak’, atau jenuh dengan pemikiran-pemikiran puber akrobat pikiran intelektualnya over-dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh pada saat-saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang-jenuh di kuburan syirik?”
             ”Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda ”saya berbicara tentang orang yang minta-minta di kuburan.”
             ”Baiklah,” lanjut pak ustadz. ”Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin….”
             ”Apa maksud Bapak?” sang pemuda memotong.
             ”Bikinlah proposal untuk meminta biaya siapa saja yangsebenarnya suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah pada umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% peanggan kuburan adalah orang-orang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti Anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang-tua cukup lancer. Di samping itu syukurlah posisi social Anda. Anda termasuk dia antara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena Anda bersekolah sampai perguruan tinggi sehingga anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menengah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupn menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Begenjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepentingan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik….”
             Seperti ari bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.
             ”kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokrasi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemampuan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negri di mana anda bisa numpang makan, minum, mrokok, dan membeli jeans baru. Langkah kedua, meningkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihal lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat anda. Kemiskinan adalah export non-migas yang subur bagi kelompok priyai pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”
             Bapak ustadz kita sudah tak terbendung lagi.
             ”dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa di lakukan oleh orang-orang miskin yang hendak anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Pak Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa pada orang kecil yangmelarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”
             Suasana pengajian menjadi semakin senyap.
             ”Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.
             ”Kepada siapa dan apa sajakah Allah cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang dituhankan orang di negeri anda ini? Apa yang di dambakan orang melebihi Tuhan? Apa yang di kejar diburu melebihi Tuhan? Apa yang di takuti orang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh dan loyal sepenuh hidupnya kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan Tuhan? Lihatlah itu, pikirkan dan terjemahkan melalui pikiran kebudayaan Anda, pikiran social Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi Anda, perhitungan structural Anda…”
             Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.
             ”Berankah anda berangkat membrantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekusaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah” Sanggupkah Anda mengalahkan obesis kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”
             Napas mulai agak tersengal-sengal.
             ”Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bukankah Anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah terakhir. Tetapi Anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir kekuburan sepi. Itu karena mata pengetahuan Anda tak pernah dicuci kecuali oleh para ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencici mata umatnya, kecuali persoalan yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu di terapkankan pada hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah solat lohor apa belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pake jilbab atau belum, mengapa Cut Nyak Dien mengelus-elus paha Teuku Umar padahal itu film citra Islam. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang tiap hari Anda pakai sembayang. Anda marah pada Cristine hakim tidak pakai jiblab padahal ia muslimah, tetapi anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitisasi, terhadap proses pemiskinan, terhadap ketidakadilan social yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro structural. Anda hanya sibuk mengurusi sunah-sunah dan tidak acuh terhadap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…  ”
             ”Pak! Mengapa jadi sejauh itu….?” Sahut sang pemuda.
             ”Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. ”Itu yang menyebabkan Anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakikat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat sesorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konteks-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya….”
             ”Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda menyelonong lagi.
             ”Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya untu knaik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Bawakaraeng dan mereka telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyun ke panggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy,atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati terhibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tan sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang muallaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi ”negara” dalam pesta syairiat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menepon pasien-pasien kita di pagi buta untuk mengecek apakah dia sudah salat subuh, kita sembahyang jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup khusuk sembahyangnya. Kita menjadi puritan, menjadi ”manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasan baru di mana kita adalah penguasanya… ”
             Sang pemuda tak bisa tahan lagi, ”Maf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”
            Tapi air bah terus tumpah ke bumi.
Oleh : Emha Ainun Nadjib

Wednesday, December 4, 2013

SANGGUPKAH TUHAN MENERIMA MUSIBAH?

0 comments

Selamat siang sahabat semua mungkin postingan ini agaknya kontroversi tapi saya harapkan baca saja dengan kepala dingin dan hati sejuk. Nikmati saja alur tulisannya. Pada kesempatan kali ini saya sengaja memposting hasil kultwit akun yang lumayan agak nyeleneh sekilas kalau kita membacanya. Yups akun ini bernama @IBLIS_wa iya alisan IBLIS Wallahu A’lam. Kurang lebihnya seperti ini mari kita petik ilmu nya bersama dan semoga bermanfaat.
Setelah gempa di Jogja yang membikin hati miris itu, pesantren tempat aku belajar libur, semua santri disuruh pulang. Aku segera teringat Mbah Maridjan, bagaimana kabar orang tua itu yang dulu sering mengajari aku filsafat Jawa. Tergopoh2 aku menemui Mbah Maridjan, kucari tadi di rumahnya beliau tidak ada. Setengah berlari aku menyusuri pematang sawah yang masih agak basah, sambil sesekali menghirup aroma batang padi yang merasuk. Kata tetangga Mbah Maridjan, beliau sering menyendiri di gubug di tengah sawah kalau sore2 begini. Dari jauh sudah kulihat gubug kecil beratapkan daun kelapa dan damen ( batang padi kering).
Setelah dekat,kulihat Mbah Maridjan yg sedang mnyalakan rokok lintingannya.Baunya mnyengat,tetapi segar apalagi ditambah suasana sore yg semilir. Mbah,bagaimana ini Mbah,musibah datang silih brganti,sprtinya sudah waktunya kita mlakukan tobat nasional. Mbah Maridjan malah tenang2 saja”. Musibah itu bisa jadi rahmat, sebagaimana rahmat juga bisa jadi musibah. Ini hanya kejadian alam biasa Le.” Gimana sih Mbah, musibah ini peringatan dari Tuhan Mbah atas dosa2 kita, sekaligus juga ujian apakah kita tabah menghadapi musibah.
Mbah Maridjanpun menjawab santai “ Tuhan pun tak sanggup menerima musibah, Le”. Aku seperti ditampar langsung di otakku, apa pula maksud Mbah Maridjan ini. Hhhmm, maksud Mbah Maridjan…?” sahutku keras kemudian Mbah Maridjan menjelaskan ulang kata-katanya dengan lengkap “Tuhan itu Le, baru diduakan saja sudah marah2, baru perintahnya tidak dilaksanakan saja sudah ngirim bencana, lha piye…Tuhannya saja nggak tabah, ciptaannya bisa lebih gak tabah lagi”.
Sebentar2, aku masih tidak mengerti apa maksud Mbah Maridjan.” “ Kamu ini pancen bodho Le, kamu ingat kisah Adam dan Hawa? yang dikeluarkan dari surga hanya karena makan buah Khuldi yang terlarang itu? itu kan kesalahan sepele, tapi Tuhan marah, terus Adam dan Hawa ditundung dari surga. Terus kamu ingat kisah Iblis dan Adam, Iblis disuruh menghormati Adam, suruh sujud di depan Adam, lha wong Iblis itu pinter, ya dia nggak mau, dia hanya mau sujud dan hormat kepada Tuhan, lagi2 Tuhan marah, purik, akhirnya Iblis dilaknat. Ingat pulakah kau tentang Sodom dan Gomora, hanya karena homoseksualitas saja seluruh kota dihancurkan. Tuhannya saja kurang dewasa, jangan pula salahkan umatnya kalau kekanak2an.
Aku hanya bengong, mendengarkan tutur kata Mbah Maridjan yang mengalir sambil mengepulkan asap rokok kretek di jari2 tangannya. Sungguh-sungguh "gila" Mbah Maridjan ini, berani-beraninya menggoyang tahta diktatur Tuhan. “ Aceh sudah lebur, Jogja sudah hancur, Merapi njeblug, kita harus lebih banyak berdoa Mbah Maridjan, supaya Tuhan mengampuni dosa2 kita.” Sahut lagi keras.
“ Hahahahahaha…………………..” Mbah Maridjan tertawa terkekeh-kekeh, sampai terbatuk2, sambil melihat dengan pandangan lucu kepadaku. Kamu ini Le, produk jaman modern kok berpikirnya idiot kaya gitu. Kalau banyak orang berdosa,dosa mereka kan kepada alam dan sesama manusia. Minta ampun lah kepada alam, dengan merawat mereka dengan baik, menjadi bagian dari alam bukan malah memperkosanya. Minta ampunlah kepada manusia2,berhenti korupsi,bantulah para fakir miskin, peliharalah yatim piatu,jalankan negara dngan jujur dan bersih. Itu yang namanya mohon ampun, kalau mohon ampunnya cuma sama Tuhan, kamu malah akan ditertawakan sama Dia.
“ Ya, tapi Mbah Maridjan, kita perlu pertolongan Tuhan untuk bisa lepas dari derita ini.” Protesku keras kepada mbah Maridjan. “ Percayalah Le, Tuhan itu egois. Kita harus membantu diri kita sendiri, kamu boleh minta tolong sampai air matamu habis, tapi kalau kamu tidak memperbaiki dirimu sendiri, ya percuma. Lihat itu orang Jepang, kena gempa mereka itu, tapi terus mereka belajar, bikin gedung dan rumah yang tahan gempa. Lihat orang Belanda,kena banjir banding mereka itu,tapi mereka bangkit, bikin dam2 raksasa,sekarang selamatlah mereka dari petaka banjir. Bencana itu untuk dipelajari, bukan untuk disesali. Lihat orang2 Eropa,dikaruniai penyakit pes,sampai separuh penduduknya mati,tapi mereka memperbaiki diri,dan hidup sehatlah mereka sekarang.
Dongkol hatiku bukan main sama Mbah Maridjan, dari dulu dia selalu bisa membolak-balik perspektif. Dan dia sudah berani mempermainkan syaraf otakku sekarang, tapi aku berusaha menguasai diriku. “Mbah, kita ini manusia yang egois. Tuhan telah menciptakan alam dengan sempurna, dan menitahkan kita sebagai kalifahnya di dunia ini. Kitalah yang telah tidak sanggup memegang amanat Tuhan itu.”
Mbah Maridjan kembali meringis, seolah mengejek. Matanya yang kecil bulat itu menatap jauh ke hamparan sawah di depannya. “ Oalah Le,kalau mau jujur sih.Karena konsep Tuhan itu diejawantahkan oleh manusia yangg egosentris,akhirnya manusia tambah kelihatan egois. Seharusnya kau yang sekolah itu tahu hal kayak gitu, dan itu pandangan antroposentrismu, kuno sekali cara berpikirmu Le.Manusia itu bagian alam Le, bukan penguasa alam.”
“Ya biarin Mbah,pandangan antroposentris kan lebih baik daripada percaya hal2 mistis kaya sampeyan, ada Nyi Roro Kidul, Tombak Kiai Plered, Kebo Kiai Slamet hahahaha………., kebo koq dianggep kiai.” Sahutku sembari meledek mbah karena sudah gregetan.
“Para kawulo cilik seperti kita ini kan sering ditipu sama para penggede2 istana. Lho siapa bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul, Nyi Roro Kidul itu kan cuman mitos Le, Raja-raja Mataram jaman dulu malu karena di Segoro Lor (Laut Jawa= red) mereka kalah dengan tentara Kumpeni Walanda dan tentara Portugis, jadi mereka menghibur diri dengan mnciptakan mitos Nyi Roro Kidul,seolah-olah mreka masih mnguasai Segoro Kidul,memperistri penguasa Segoro Kidul. Cilokone, kita semua percaya adanya Nyi Roro Kidul, kekuatan pusaka2, kita ini memang bodho koq Le, wis bodho mbodhoni wong mesisan.”
Lagi2 Mbah Maridjan bikin aku klenger, dia bilang dia tidak percaya Nyi Roro Kidul, ngoyoworo (mengada2) saja Mbah tua satu ini. “Mbah, musibah demi musibah ini menyelimuti kita, kita harus bergerak Mbah.”. “ Simbah di sini saja Le, mengabdikan diri untuk penduduk Merapi. Sudah sana, belajar yang bener, santri kalau kerjaannya main PS terus ya kayak kamu ini jadinya. Ilmune nggedabus, pangertene mbladhus. Kamu yang masih muda yang harus bergerak, sadarkan orang dari tidurnya, sadarkan orang dari sikap fatalis menghadapi musibah. Belajar sana bagaimana mengatur bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran, jangan hanya kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus kau pelajari, dan jangan lupa sekarang banyak kitab digital yang bisa dipelajari.
Sambil menggerakkan tangannya menyuruh aku pergi, Mbah Maridjan merogoh sakunya, dikeluarkannya selembar duit 50 ribu. “ Ini hanyalah lembaran 50 ribuan Le, kuserahkan padamu. Duit ini akan benar2 jadi milikmu kalau kamu memberikannya kepada yang membutuhkan. Dilemparkannya duit itu kepadaku, aku mengambilnya sambil bingung memikirkan apa maksud kata-kata Mbah Maridjan yang terakhir tadi. 
Semoga bermanfaat buat kita semua salam sejahtera dari edi sumiarjo sebarkan kalau merasa bermanfaat.:-)

Nyanyian Daun Kering

0 comments


Pagi masih terlalu dingin untuk sekedar menghirup udara
Embun masih dalam bentuk butiran yang belum menetes
Gemercik air layaknya alunan yang terdengar nyaring
Ikan berenang tenang tanpa jeritan
Katak melompat-lompat bukan karena rasa
Angin semilir hembuskan pelan
Bergoyang-goyang dedaunan hasilkan nada-nada seirama
Kresak-kreask bunyi nyaring tak bersajak
Kemudian jatuh dari ranting menuju tanah tanpa suara
Tersapu dan terbakar daun yang telah kering
Nyanyainya tak akan lagi terdengar esok hari
Begitulah peristiwa pagi tanpa cahaya

Monday, December 2, 2013

Pelangi dan Secangkir Kopi

0 comments


Tak terasa mentari telah bersembunyi di awan yang menghitam

Anginpun membawakan aroma tak sedap di sore ini

Rintik hujan tidak terlihat tapi dapat di rasakan hadirnya kian dekat

Secangkir kopi yang tersaji adalah percampuran sempurna

Yang menjadikannya dunia yang sementara terasa kelal adanya

Entah karena iri pelangi tiba-tiba saja terbantuk di sisi barat

Tempat dimana aku hadapkan wajahku kepada Cinta

Tempat dimana pusat bumi berada di titik sana

Iya serong kanan aku melihat keindahan

Keindahan yang tersaji kala rintik ini mulai membasahi

Kala rintik ini berpadu dengan mentari dan menjadikanya pelangi

Memang tak ada percampuran yang seindah pelangi dan kopi