Selamat siang sahabat semua mungkin postingan ini agaknya
kontroversi tapi saya harapkan baca saja dengan kepala dingin dan hati sejuk.
Nikmati saja alur tulisannya. Pada kesempatan kali ini saya sengaja memposting
hasil kultwit akun yang lumayan agak nyeleneh sekilas kalau kita membacanya. Yups
akun ini bernama @IBLIS_wa iya alisan IBLIS Wallahu A’lam. Kurang lebihnya
seperti ini mari kita petik ilmu nya bersama dan semoga bermanfaat.
Setelah gempa di Jogja yang membikin
hati miris itu, pesantren tempat aku belajar libur, semua santri disuruh
pulang. Aku segera teringat Mbah Maridjan,
bagaimana kabar orang tua itu yang dulu sering mengajari aku filsafat Jawa. Tergopoh2 aku menemui Mbah Maridjan,
kucari tadi di rumahnya beliau tidak ada. Setengah
berlari aku menyusuri pematang sawah yang masih agak basah, sambil sesekali
menghirup aroma batang padi yang merasuk. Kata tetangga Mbah Maridjan, beliau
sering menyendiri di gubug di tengah sawah kalau sore2 begini. Dari jauh sudah kulihat gubug kecil
beratapkan daun kelapa dan damen ( batang padi kering).
Setelah dekat,kulihat Mbah Maridjan yg
sedang mnyalakan rokok
lintingannya.Baunya mnyengat,tetapi segar apalagi ditambah suasana sore yg
semilir. “Mbah,bagaimana
ini Mbah,musibah datang silih brganti,sprtinya sudah waktunya kita mlakukan
tobat nasional.”
Mbah Maridjan malah tenang2 saja”. Musibah itu bisa jadi rahmat, sebagaimana
rahmat juga bisa jadi musibah. Ini hanya kejadian alam biasa Le.” “Gimana sih Mbah, musibah ini
peringatan dari Tuhan Mbah atas dosa2 kita, sekaligus juga ujian apakah kita
tabah menghadapi musibah.”
Mbah
Maridjanpun menjawab santai “
Tuhan pun tak sanggup menerima musibah, Le”. Aku seperti ditampar langsung di
otakku, apa pula maksud Mbah Maridjan ini. “Hhhmm, maksud Mbah Maridjan…?” sahutku keras
kemudian Mbah Maridjan menjelaskan ulang kata-katanya dengan lengkap “Tuhan itu Le, baru diduakan saja
sudah marah2, baru perintahnya tidak dilaksanakan
saja sudah ngirim bencana, lha piye…Tuhannya saja nggak tabah, ciptaannya bisa
lebih gak tabah lagi”.
Sebentar2, aku masih tidak mengerti
apa maksud Mbah Maridjan.” “ Kamu ini pancen bodho Le, kamu ingat kisah Adam
dan Hawa? yang
dikeluarkan dari surga hanya karena makan buah Khuldi yang terlarang itu? itu kan kesalahan sepele, tapi Tuhan
marah, terus Adam dan Hawa ditundung dari surga. Terus kamu ingat kisah Iblis
dan Adam, Iblis disuruh menghormati Adam, suruh sujud di depan Adam, lha wong
Iblis itu pinter, ya dia nggak mau, dia hanya mau sujud dan hormat kepada Tuhan, lagi2 Tuhan
marah, purik, akhirnya Iblis dilaknat. Ingat pulakah kau tentang Sodom dan Gomora, hanya karena
homoseksualitas saja seluruh kota dihancurkan. Tuhannya saja kurang dewasa, jangan pula salahkan umatnya
kalau kekanak2an.”
Aku hanya bengong, mendengarkan
tutur kata Mbah Maridjan yang mengalir sambil mengepulkan asap rokok kretek di
jari2 tangannya. Sungguh-sungguh "gila" Mbah Maridjan ini,
berani-beraninya
menggoyang tahta diktatur Tuhan. “ Aceh sudah lebur, Jogja sudah hancur, Merapi njeblug, kita
harus lebih banyak berdoa Mbah Maridjan, supaya Tuhan mengampuni dosa2 kita.” Sahut
lagi keras.
“ Hahahahahaha…………………..” Mbah
Maridjan tertawa terkekeh-kekeh, sampai terbatuk2, sambil melihat dengan pandangan lucu
kepadaku. “Kamu
ini Le, produk jaman modern kok berpikirnya
idiot kaya gitu. Kalau
banyak orang berdosa,dosa mereka kan kepada alam dan sesama manusia. Minta ampun lah kepada alam, dengan
merawat mereka dengan baik, menjadi bagian dari alam bukan malah memperkosanya. Minta ampunlah kepada
manusia2,berhenti korupsi,bantulah para fakir miskin, peliharalah yatim
piatu,jalankan negara dngan jujur dan bersih. Itu yang namanya mohon ampun, kalau mohon ampunnya cuma sama
Tuhan, kamu malah akan ditertawakan sama Dia.”
“ Ya, tapi Mbah Maridjan, kita perlu
pertolongan Tuhan untuk bisa lepas dari derita ini.” Protesku keras
kepada mbah Maridjan. “
Percayalah Le, Tuhan itu egois. Kita harus membantu diri kita sendiri, kamu boleh minta tolong sampai air
matamu habis, tapi kalau kamu tidak memperbaiki dirimu sendiri, ya percuma. Lihat itu orang Jepang, kena gempa
mereka itu, tapi terus mereka belajar, bikin gedung dan rumah yang tahan gempa. Lihat orang Belanda,kena banjir
banding mereka itu,tapi mereka bangkit, bikin dam2 raksasa,sekarang selamatlah
mereka dari petaka banjir. Bencana
itu untuk dipelajari, bukan untuk disesali. Lihat orang2 Eropa,dikaruniai penyakit pes,sampai separuh
penduduknya mati,tapi mereka memperbaiki diri,dan hidup sehatlah mereka
sekarang.”
Dongkol hatiku bukan main sama Mbah
Maridjan, dari dulu dia selalu bisa membolak-balik perspektif. Dan dia sudah berani mempermainkan
syaraf otakku sekarang, tapi aku berusaha menguasai diriku. “Mbah, kita ini manusia yang egois.
Tuhan telah menciptakan alam dengan sempurna, dan menitahkan kita sebagai
kalifahnya di dunia ini. Kitalah
yang telah tidak sanggup memegang amanat Tuhan itu.”
Mbah Maridjan kembali meringis,
seolah mengejek. Matanya yang kecil bulat itu menatap jauh ke hamparan sawah di
depannya. “ Oalah Le,kalau mau jujur
sih.Karena konsep Tuhan itu diejawantahkan oleh manusia yangg egosentris,akhirnya manusia tambah
kelihatan egois. Seharusnya
kau yang sekolah itu tahu hal kayak gitu, dan itu pandangan antroposentrismu,
kuno sekali cara berpikirmu Le.Manusia itu bagian alam Le, bukan penguasa
alam.”
“Ya biarin Mbah,pandangan
antroposentris kan lebih baik daripada percaya hal2 mistis kaya sampeyan, ada Nyi Roro Kidul, Tombak Kiai
Plered, Kebo Kiai Slamet hahahaha………., kebo koq dianggep kiai.” Sahutku
sembari meledek mbah karena sudah gregetan.
“Para kawulo cilik seperti kita ini
kan sering ditipu sama para penggede2 istana. Lho siapa bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul, Nyi Roro
Kidul itu kan cuman mitos Le, Raja-raja Mataram jaman dulu malu karena di Segoro
Lor (Laut Jawa= red) mereka kalah dengan tentara Kumpeni Walanda dan tentara Portugis, jadi mereka menghibur diri dengan mnciptakan mitos Nyi Roro
Kidul,seolah-olah
mreka masih mnguasai Segoro Kidul,memperistri penguasa Segoro Kidul. Cilokone, kita semua percaya adanya
Nyi Roro Kidul, kekuatan pusaka2, kita ini memang bodho koq Le, wis bodho
mbodhoni wong mesisan.”
Lagi2 Mbah Maridjan bikin aku
klenger, dia bilang dia tidak percaya Nyi Roro Kidul, ngoyoworo (mengada2) saja
Mbah tua satu ini. “Mbah, musibah demi musibah ini menyelimuti kita, kita harus
bergerak Mbah.”. “
Simbah di sini saja Le, mengabdikan diri untuk penduduk Merapi. Sudah sana, belajar yang bener,
santri kalau kerjaannya main PS terus ya kayak kamu ini jadinya. Ilmune
nggedabus, pangertene mbladhus. Kamu
yang masih muda yang harus bergerak, sadarkan orang dari tidurnya, sadarkan
orang dari sikap fatalis menghadapi musibah. Belajar sana bagaimana mengatur bantuan yang tepat guna dan
tepat sasaran, jangan hanya kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus kau pelajari,
dan jangan lupa sekarang banyak kitab digital yang bisa dipelajari.”
Sambil menggerakkan tangannya
menyuruh aku pergi, Mbah Maridjan merogoh sakunya, dikeluarkannya selembar duit
50 ribu. “ Ini hanyalah lembaran 50 ribuan
Le, kuserahkan padamu. Duit ini akan
benar2 jadi milikmu kalau kamu memberikannya kepada yang membutuhkan. Dilemparkannya duit itu kepadaku,
aku mengambilnya sambil bingung memikirkan apa maksud kata-kata Mbah Maridjan yang terakhir tadi.
Semoga bermanfaat buat kita semua salam sejahtera dari edi sumiarjo sebarkan kalau merasa bermanfaat.:-)
Semoga bermanfaat buat kita semua salam sejahtera dari edi sumiarjo sebarkan kalau merasa bermanfaat.:-)
0 comments:
Post a Comment