Wednesday, July 8, 2020

Cengkeh dan Orang Desa

0 comments

Kita sudah paham dan mengerti kalau Tuhan selalu menyiapkan rencana terbaik buat hamba-Nya. Tuhan sangat detail memgatur segala hal yang bersinggungan langsung dengan manusia atau yang tak langsung bersinggungan. Misal saja musim. Kita patut bersyukur yang tiada bertara hidup di negeri yang hanya memiliki musim kemarau dan hujan. Hidup negeri tropis. Hidup di pecahan tanah surga bernama Indonesia. Segala benih yang terlempar di tanah akan tumbuh walau tak terurus. 


Musim kemarau adalah musim panen untuk sebagian petani dan musim paceklik bagi sebagian lainya. Itu sudah di atur pula oleh-Nya. Misal saja tanaman surga ini, bernama cengkih. Tanaman yang menjadi primadona. Tanaman yang menjadi rebutan selama kurang lebih 350 tahun lamanya. Tanaman yang membuat negeri-negeri lain iri dan menjajah negeri kita beratus ratus tahun lamanya. 



Kemarau ini adalah berkah bagi yang punya lahan atau yang tak punya lahan. Tanaman ini cukup menghidupi lambung kecil orang-orang desa. Dari daunya yang gugur, buah nya yang jatuh menjadi sumber rezeki orang-orang kecil yang rela dan ridho memunguti untuk di jual. Tentu bukan dalam kapasitas banyak, sekali lagi hanya sebagai pengganjal lambung kecil orang-orang desa.


Aaah cengkih tanpa nya, barang kali jalan-jalan yang kita lalui tak akan mulus, fasilitas umum tak ada, negara menjerit. Tak di pungkiri cengkih adalah bahan pokok yang harus ada untuk rokok Indonesia selain tembakau tentunya. Dan produk ini menjadi penyumbang terbesar devisa negara. 



Memang hidup itu unik. Orang desa selalu terpinggirkan. Selalu di anggap kampungan. Namun justru orang kota kebutuhan hidup nya di sokong dari desa. Bisa di bayangkan andai orang desa pola pikirnya teracuni pemikiran bahwa dengan modal kecil harus dapat untung yang sebesar-besar nya. Tentu orang kota sudah pada mati kelaparan hahahhahah. Bersyukurlah masih ada orang-orang desa yang ikhlas wahai kaum egois penyembah keserakahan hahhaha. Barang kali karena keikhlasan dan kesederhanaan inilah orang desa cenderung lebih bahagia dan jauh dari penyakit aneh-aneh. 











Gudeg Pawon Dan Kesederhanaan Kuliner Yogyakarta

0 comments

Dalam invasi restoran kekinian yang rata rata menyajikan junk food, kadang sebagian pegiat dan pemburu kuliner malah ingin kembali pada jajanan yang tradisional, tak cuma mempertimbangkan kesehatan, makanan tradisional seperti menyimpan taste sendiri, bumbu yang langka, racikan yang menggugah selera serta mungkin kenangan kenangan didalamnya.


Kalau teman-teman main ke Yogyakarta, tentu makanan yang paling identik adalah gudeg. Makanan yang satu ini boleh jadi salah satu primadona kuliner di Yogyakarta. Salah satu gudeg yang terkenal di Yogyakarta adalah Gudeg Pawon. Warung gudeg ini mulai buka sekitar jam 10 malam. Dari jam 9 malam kendaraan dan orang-orang sudah antri panjang untuk menikmati hidangan gudeg pawon.

Warung gudeg yang terletak di jalan Veteran Umbulharjo Yogyakarta ini termasuk salah satu warung yang menyajikan jajanan tradisional, tapI tak cuma dari hidangannya, juga pengolahan serta prosesnya menggunakan cara dan alat yang tradisional.

Di Gudeg Pawon, pengunjung yang makan di sini bisa melihat secara langsung dapur si pemilik warung sambil melihat prosees memasak gudeg. Konsep unik seperti ini cukup berhasil menarik konsumen, menjadikan Gudeg Pawon menjadi kian terkenal. Cara memasaknya masih menggunakan kayu bakar. Untuk menanak nasinya pun tidak menggunakan ricecooker, yaitu menggunakan peralatan masak jaman dulu yang biasa disebut dandang.

Maraknya restoran modern dengan konsep foodcourt dan junk food membuat gudeg ini seakan mendobrak bahwa makanan tradisional pun tak kalah peminatnya, bahwa makanan tradisional akan selalu dirindukan oleh orang-orang urban yang mungkin sudah jenuh dengan makanan restoran cepat saji.

Sudah menjadi siklus zaman, atas nama kenangan, suatu saat manusia akan kembali pada ketradisionalan. Manusia modern akan jenuh dengan rutinitas kehidupan modern meski difasilitasi dan sisuguhi hal hal yang serba canggih.

Makan di tempat-tempat traditional semacam ini seakan menjadi nostalgia. Menjadi energi isi ulang bagi jiwa yang gersang yang kering oleh kemarau kota. Ada kebahagian tersendiri setelah makan di tempat semacam ini. Tak heran, tak hanya makanan yang menggunakan konsep tradisional tapi tempat pariwisata yang menawarkan sisi traditional menjadi sangat ramai. Mulai dari penginapan tradisional, rumah dengan dekor tradisional dan segala hal yang berbau tradisional diminati oleh manusia modern.

Peran media dan juga kesadaran sosial bisa menjadikannya peluang pasar untuk membentuk konsep tradisional semacam ini. Potensi yang ada di pedesaan bisa dikembangkan menjadi pemasukan daerah tanpa merubah kelestarian dan tradisionalitas yang dimiliki daerah tersebut