Wednesday, February 12, 2020

Ketabahan Tukang Ojek Tradisional

0 comments
Ketabahan Tukang Ojek Traditional


Perjalanan pulang kemaren saya ndilalah naik kereta dari stasiun yang berbeda. Pertama berangkat saya naik dari stasiun lempuyangan karena kehabisan tiket dari stasiun tugu. Dan kembalinya ke jogja saya justru kehabisan tiket ke lempuyangan dan mau tidak mau harus beli tiket yang berhentinya di stasiun tugu. Padahal saya dari rumah membawa motor dan di titipkan di parkiran motor lempuyangan. Sedikit ribet tapi pilihanya cuma seperti itu adanya.

Tiba saat kembali ke jogja di tugu saya berencana naik ojek online. Biasa ini adalah pilihan manusia modern dalam hal transportasi masa kini. Hampir semua milenial kemana pun perginya pasti memilih transpotasi online. Ya terlebih di kota Yogyakarta ini. Yang hampir semua moda transportasi online ada. Saat keluar di pintu keluar tiba-tiba saja ada bapak bapak tua menawarkan ojek. Tentu saya menolaknya secara halus karena niat nya memang ingin memakai ojek online menuju lempuyangan. Belum ada sepuluh langkah saya pergi tetiba saya mbalik lagi karena merasa tak enak hati. "Pak pinten ke lempuyangan?"
"20 ribu wawon mas"
Mahal kalau bandingkan dengan ojek online.
"15 ribu nggeh pak"
"Ampun mas 20 wamon"
"Owh nggeh ayooo"
Perjalananan dari tugu ke lempuyangan sebenarnya lumayan deket. Tapi kalau jalan kaki atau lari ya capek juga si hahah.


Dengan menggunakan helm yang agak kotor serta motor yang bisa di bilang tua,bapak ini mulai perjalanan membawa saya. Sepanjang perjalanan yang lumayan singkat itu kami sempat kan ngobrol lumayan banyak. Berbeda dengan obrolan kalau kita naik ojek online memang. Ngobrol dengan tukan ojek traditional lebih banyak ke esensi kehidupan. Bukan lagi ngeluh belum dapat poin dan lain sebagainya.

Mungkin pilihan menjadi tukang ojek bukan lah pilihan utamanya terlebih harus berjibaku bersaing tidak hanya sesama tukang ojek pangkalan tapi makin maraknya ojek online. Bapak ini mata pencaharian utama nya adalah bertani. Beliau menanam padi di sebidang sawahnya di jalan parang tritis bantul. Karena habis musim kemarau pengairan di sawahnya agak terkendala. Beliau cerita panjang lebar selama perjalanan itu. Dan saya sesekali cuma nimpali obrolanya. Beliau menang sangat tabah dan ulet dalam mengarungi kerasnya hidup. Paras wajahnya yang sudah sepuh tak terlihat mengeluh akan keadaan. Tak ada obrolan mengenai sepinya orderan ojek. Dalam berbicarapun beliau di iringi senyum.

Padahal beberapa hari yang lalu saya sempet ngobrol sama beberapa anak muda pengemudi ojek online. Hampir semua obrolanya mengeluh dan orientasinya materialis sekali. Obsesi yang tinggi dengan rendahnya usaha. Barangkali kita ini sebagai orang muda lebih suka segalanya serba instan.  Lagi pilihan profesi yang kita ambil bukan berdasarkan apa yang kita suka, atau butuh kan. Yang ujung-ujungnya melakukan segalanya dengan berat hati dan uring-uringan.

Kembali ke bapak tukang ojek yang tabah itu. Rasanya sampai malu hati saya ini. Ketika beliau dengan nada lirih dan lembutnya berkata.

"Mas ndunyo niki sedoyo mpun di atur kalih pangeran. Mpun mboten sah abot abot."

Mak deg saya. Apa iya beliau tau betapa hati saya saat ini di penuhi ambisi-ambisi yang tinggi? Hehehehe terima kasih pak sehat selalu semoga ketabahan bapak membawa berkah dan kedamaian dalam hidup bapak dan keluarga.

0 comments:

Post a Comment