Bicara
masalah salah arti sebenarnya sudah sangat famikier kita itu dengan budaya
salah arti. Faktor utamanya jelas karena kita terlalu terburu-buru mengambil
kesimpulan dalam menanggapi setiap jengkal permasalahan. Kemudian kita
terburu-buru mengambil langkah penyelesaian. Yang jelas endingnya sudah bisa di
tebak bukan? Kita tersiksa dengan persepsi kita yang keliru itu. Bagaimana
tidak ternyata yang kita persepsikan 180 derajat berbalik dengan pandangan
kita. Nah loh kalau sudah begini mau apa? Menyesali yang sudah terjadi dikira akan
mengembalikan semua yang telah berlalu? Jelas tidak.
Berbicara
masalah cinta dan kasih sayang saya sendiri sebenarnya juga masih ragu-ragu dan
agak canggung menulis tentang topik tersebut. Bukan karena apa, saya sendiri
menyadari betapa diri saya ini masih jauh dari rasa peka terhdap rasa kasih
sayang yang barang kali di berikan oleh orang lain. Disamping itu juga yang
namanya perasaan itu bersifat sangat subjektive. Kita bisa sangat lihai dan
pandai dalam bermain-main memakai kedok kita dalam menutupi apa yang kita
rasakan. Itu sebabnya membahas perasaan memang tiada habisnya dan akan selalu
menjadi pembahasan yang menarik.
Kasih
sayang dan cinta yang di berikan oleh orang lain memang kerap kali
berbeda-beda. Itu sebabnya kenapa manusia sering kali terjebak dalam miss
perception. Orang yang dengan tampang galak bisa jadi dia justru memiliki rasa
kasih sayang yang luar biasa terhadap kita. Atau mungkin sebaliknya. Jadi semua
memang tidak serta merta kita tarik kesimpulan dengan pengetahuan kita apalagi
hanya dari maujud seseorang. Kemudian kita simpulkan baik dan buruk. Hati-hati
pandangan semacam ini juga jangan sampai membuat kita juga terjebak untuk
menilai kasih sayang Tuhan. Waah bahaya sekali kalau seperti itu.
Pandangan
yang keliru dalam menanggapi suatu hal memang terkadang begitu menyesatkan apa
lagi kalau telah menjadi habit. Saya mencoba menjabarkan beberapa analogi
cerita. Seorang ayah sedang bercanda dengan anaknya di ruang beranda. Tiba-tiba
anaknya menjerit nangis. Sontak seisi rumah kaget dan lari ke beranda apa yang
terjadi pada anak tersebut.? Ternyata di beranda hanya ada si anak dengan
ayahnya yang malah justru sedang tertawa. Dan di tanya kenapa ade nangis
kencang seperti itu? Tanya si ibu. Ayah mencubit pantatku bu. Anak laki-laki
yang gendut dan gemesi itu menjawab dengan tersendu-sendu. Apakah ayah ini
penjahat anak? Apakah ayah ini tidak sayang kepada anaknya? Tentu saja
jawabanya ayah ini sayang banget dengan anaknya. Tetapi kenapa dia buat nangis
anaknya itu? Anda tidak perlu nanya sebanyak itu, lihat dulu permasalahan dan
konteksnya. Ayah ini bisa jadi dia gemes sama anaknya dan ingin bercanda dengan
anaknya. Mungkin maksudnya meledek anak agar humor dan komunikasi terbangun
dengan erat. Apakah sang anak kemudian tidak mau lagi deket dengan ayahnya
setelah di cubit? Iya tidak mungkinlah semuanya kan kembali ke sedia kala. Anak
akan main lagi sama ayahnya, dan mau kembali lagi di gendong. Itu lah kasih
sayang kalau kita tidak hati-hati menyimpulkan hal semacam ini kita bisa jadi
menghakimi ayah tersebut dengan sebutan ayah brutal atau apa? Dan kemudian kita
ngopor-opori anak untuk tidak mau lagi bermain dengan ayahnya nanti di cubit
lagi. Ini pandangan keliru tadi.
Lalu
bagaimana jika kekeliruan itu kita maksudkan untuk Tuhan Sang Maha pencipta
kita. Dia yang menggengam hati kita. Jiwa kita serta semesta dan seluruh isinya
ini. Barangkali anda dan saya sering salah kaprah mengartikan kasih dan sayang
Tuhan. Karena kita tak pernah menyadari betapa dekatnya Tuhan dengan kita
ciptaan-Nya. Kita agaknya cenderung menutup rapat kesadaran kita. Setiap Tuhan
mencoba bergurau dan gemes dengan kita, kita malah mikirnya Tuhan sedang
menguji. Di kira semua yang terjadi di kehidupan kita berupa derita mungkin,
duka mungkin, kita sudah menyimpulkan bahwa Tuhan sedang menguji kita. Kenapa kita
itu suka mendadak sok alim, sok hebat. Kenapa saya bilang sok? Jelas lah orang
yang di uji itu orang yang sudah siap naik tingkatan, orang yang sudah
tahu/paham. Sedangakn kalau menilik ke dalam apa kita telah seperti itu belum? Kalau
belum ya sudah jangan bilang itu ujian atau cobaan. Pikirkan saja Tuhan memang
sedang bergurau dengan kita atau lebih ekstrem nya dosa masa lalu kita sedang
kita nikmati sekarang.
Tuhan
itu memiliki sifat Maha Cemburu, kalau hamba terus berpaling apa ya Tuhan gak
cemburu? Kalau kita mendapatkan sesuatu entah itu menyedihkan atau
membahagiakan jangan terburu-buru bilang cobaan, siapa tahu Tuhan sedang
meanjakan kita.
Jadi
salah persepsi dalam melihat setiap jengkal permasalahan akan juga berdampak
bukan hanya ke diri sendiri bahkan bisa ke orang lain lebih parahnya ke Tuhan. Saran
saya mari kita mau berbuka-bukan dalam memandang suatu hal. Jangan hanya
terfocus dari depan, belakang, atas atau bawah, tapi semuanya harus kita pakai.
Semuanya harus kita lehat dengan seksama. Selamat malam bahagia selalu malam
ini apapun kondisi kita Tuhan sedang memberi kita waktu di Manja.
0 comments:
Post a Comment