Buruh, terdengar begitu kasar secara
konotasi bahasa. Orang yang bekerja dalam suatu jabatan di suatu perusahaan
yang entah dengan posisi apapun namun biasanya dengan posisi yang dianggap
kurang strategis. Buruh atau karyawan, saya menyebutnya karyawan sajalah agar
tedengar lebih halus. Ini juga berarti saya munafik terhadap kata buruh, namun
lebih karena menghargai betapa berat menjadi seorang buruh. Sudah bekerja
dengan sekuat tenaga hasilnya tak sesuai dengan harapan. Parahnya di potong
outsourching yang melalui outsourching. Seperti yang kita ketahui masalah
outsourching di negeri ini tak kunjung usai. Permasalahannya sederhana lapangan
pekerjaan sempit namun jumlah pencari pekerja membludak nah hal semacam ini
yang kerap di manfaatkan oleh segelintir oknum atau pihak yang tak bertanggung
jawab untuk memanfaatkan kondisi semacam ini.
Hari ini adalah tanggal 1 mei, tanggal
yang oleh orang di seluruh dunia di peringati dengan hari buruh sedunia. Sudah barang
tentu kalau hari ini tiba yang dilakukan buruh adalah demostran. Meskipun cara
seperti ini kurang efektif pasalnya para petinggi di negeri ini memang agaknya
tuli untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Aspirasi mereka hanya menjadi
bahan teriakan tanpa tindak lanjut, buktinya dari zaman bahela tuntutan mereka
sebenarnya sama namun sampai sekarang tak kunjung selesai bukan? Miris sekali. Mereka
hari ini pun akan menuntut dengan tuntutan yang sama seperti 2 tahun atau 4
tahun yang lalu. Ini menunjukan kurang seriusnya para petinggi negeri ini baik
pengusaha atau pemerintah dalam meyikapi nasib para buruh.
Saya itu sering membayangkan kalau
saja tidak ada buruh terus mau menggunkan apa untuk menggerakan roda ekonomi
negeri ini? Agaknya memang para petingi dan pemerintah itu lupa akan esensi. Keuntungan
seakan menjadi suatu perioritas yang paling utama dan melupakan bagaimana
kesejahteraan para pegawainya. Mau pegawainya bisa memberi makan keluarganya
atau tidak yang terpenting bagi perusahaan, perusahaan tetap berjalan. Wuiikh kapitalisme
di praktekan di negara yang konon demokratis tapi demokratis adopsi luar. Demokrasi
hanya m enjadi sebuah kedok dan penutup, buktinya yang kaya makin kaya, yang
miskin makin miskin. Ini demokrasi? Kalau ada orang DPR yang hidupnya miskin
saya mau deh di jitak kepalanya. Mereka itu semua kaya, orang kaya tak akan pernah
merasakan rasa pahit atau melilitnya perut saat menahan lapar.
Perundang-undangan yang melindungi
buruh juga hanya menjadi aturan baku yang tak di terapkan. Bagaimana mau di
terapkan ada kongkalikomg dengan pembuat peraturan denga para pengusaha. Kalau di
terapkan perusahaan untungnya kecil, oknum tak dapat uang. Coba kalau sangsi
yang tegas bagi perusahaan yang tak menajlankan perundang-undangan tersebut
jelas nasib buruh bisa jadi tak separah ini.
Serba tidak enak memang menjadi
seorang buruh. Tidak jadi buruh tidak punya penghasilan atau pekerjaan. Jadi buruh
seakan di eksploitasi habis-habisan. Di porsir tenaganya dengan upah yang bisa
di bilang minim. Saya matematikan sekarang kalau upah buruh sekarang UMR
katanlah Jakarta 2.2 Juta. Biaya Kost paling murah katakanlah 300 ribu/bulan. Kemudian
makan seadanya 2x makan 30 ribu dikali 30 hari 900 ribu. Loundry pakaian
katakanlah minimal 100 ribu /bulan. Kemudian Uang pulsa minimal 100 ribu/
bulan. Itu untuk menghidupi satu orang, sekarang bayangkan buruh punya istri
dan katakanlah 2 anaknya. Gaji segitu apa ya cukup untuk sekolah anaknya. Ya wajar
saja program pendidikan minimal 9 tahun hanya jadi omong kosong bagi sebagian
orang. Loh kan ada BOS? Silahkan cek meskipun ada BOS tetap ada dana komite
yang besarnya sama saja mahalnya.
Kemudian untuk mengatasi berbagai
kritikan pemerintah mencanangkan program wirausaha. Konon kalau negara ini
punya pengusaha 2-5 % dari seluruh penduduk maka akan jadi negara maju. Wah memang
ide keren pemerintah ini. Tapi sekali lagi omong kosong. Apa artinya
mencanangkan program wirausaha toh pemerintah masih suka mengimpor barang dari
luar negeri. Produk dari luar negeri di biarkan mambanjiri pasaran lokal. Para pengusaha
di suruh bersaing denga produk impor yang dengan harga yang sangat murah. Jelas
pengusaha lokal bangkrut.
Kampanye pengusaha ini bisa di bilang
begitu gencar tapi mlompong (kosong). Program peminjaman dana hanya di manfaat
kan oleh segelintir orang bukan? Silahkan berkunjung ke plosok desa-desa apakan
dana simpan pinjam menyentuh mereka? Kalau iya bagus tapi setahu saya masih
banyak desa di plosok negeri ini yang tak tersentuh. Kemudian semua orang
beramai-ramai mncari nafkah ke kota jelas sasaranya Jakarta. Kota ini memang sengaja
di buat dengan ketimpangan yang tinggi dengan magnet yang tinggi agar semua
pusat perekonomian terpusat disini. Wajar dan sangat wajar. Kemudian menjadi
buruh adalah solusinya bagi masyarakat kecil.
Memang sungguh menakjubkan sekaligus
mengherankan negeri yang begitu subur ini masyarakatnya bisa di bilang hidup di
taraf yang rendah. Sudahlah mari kita melek, buka mata kita lebar-lebar, buka
mata hati kita. Sudah jangan jadi orang sok agamis. Negeri ini orangnya tak
beragamis kok. Buktinya kemiskinan sudah separah ini. Rakyat kecil selelu saja
menjadi objek yang begitu terpuruk. Silahkan ngaku agamis kalau di lampu merah
sudah tidak lagi ada orang yang minta-minta. Silahkan mengaku agamis kalau
pendidikan anak negeri ini tercukupi. Silahkan mengaku agamis kalau semua
masyarakat pada jam makan sudah makan dan tak kelaparan. Silahkan ngaku agamis
kalau gizi buruk sudah hilang. Silahkan ngaku agamis kalau orang-orang sudah
tidak lagi hidup dengan sampah, tidur diatas jalan pinggir trotoar.
Memperingati hari buruh sedunia ini
semestinya menajadi momentum bagi pemerintah untuk ngaca. Momentum untuk
pemerintah menggampar dirinya sendiri. Sudah seberapa besar mereka melindungi
masyarakatnya. Sudah seberapa kuat mereka menerapkan UUD dan Pancasila sebagai
tonggak menajalankan negeri ini. Kalau hari ini hanya sebagai momentum
ceremonial itu percuma dan sangat percuma. Apa lagi konon presiden menjadikan
hari ini sebagai hari libur nasional. Sebuah solusi yang kurang tepat,
janganlah menganggap kesengsaraan kaum buruh itu hanya di rasa tanggal 1 mei. Dengan
meberikan dan menetapkan hari ini sebagai nasional. Seakan-akan kaum buruh
dianggap sebagai anak SD yang senang ketika mendapat libur. Kaum buruh menuntut
keadilan bukan menuntut hari ini sebagai hari libur. Buat apa kalau hari ini di
tetapkan sebagai hari libur kalau hak buruh tak kunjung di penuhi? Buat apa
hari ini di tetapkan sebagai hari libur nasional kalau oknum yang membuat
sengsara buruh masih gentayangan menghantui kehidupan buruh.
Tetapi buruh itu menuntut haknya
keterlaluan? Biasanya kata ini sebagai kambing hitam dan perlawanan. Itu jelas-jelas
sebagai tugas bapak-bapak bagaiamana melindungi rakyatnya. Kalau mau membiarkan
rakyatnya terus di jajah di era modern ya silahkan saja terus berlindung di
balik kata itu. Buruh itu menuntut hak mereka yang secara logika memang itu hak
mereka. Kerja keras ya sudah barang tentu harus di bayar denga sepadan juga. Tapi
keinginan seorang itu tidak ada batasnya.? Salah ada diaman mereka sudah sesuai
dengan keinginannya. Makanya pemerintah membuat dan menerapkan aturan yang
jelas untuk semata-mata melindungi warganya. Semata-mata untuk melindungi
rakyatnya. Untuk memenuhi amanahnya sebagai pemimpin negara ini.
Akhirnya selamat hari buruh sedunia. Jadilah
pekerja yang sejati. Jadilah pekerja yang berwibawa. Jadilah pekerja yang
cerdas yang mau memilah dan memilih pekerjaan. Jangan sampai terjatuh pada
jurang kenistaan. Semoga hak dan tuntutan para buruh kunjung terselesaikan. Biar
bagaimanapun buruh adalah agent yang akan memabwa negeri ini ke arah yang lebih
baik. Buruh juga termasuk pahlawan bagi keluarganya. Bagi para pengusaha atau
perusahaan berikanlah hak sesuai dengan pekerjaanya. Berikanlah sebagai upaya
membangun negeri ini menjadi lebih baik, sebagai upaya pendekatan terhadap sila
Pertama. Marilah kaya sama kaya dan menderita sama menderita. Hilangkan rasa
sombong dan tamak yang menutup mata hati dan tak mau melihat bagaimana derita
orang lain.