Pada saat saya masih SMA guru lulusan filsafat UGM menjelaskan kepada
saya, bahwa ketika guru menjelaskan kepada siswanya hanya beberapa persen saja
yang bisa dipahami. Kemudian ketika kelak siswanya jadi guru akan menjelaskan
kepada siswanya lagi, dan siswanya lagi akan menangkap beberapa persen lagi. Saat
itu saya sudah berusaha menyimpulkan akh masa ilmu bergerak ke titik nol? Namun
perjalanan hidup mengantarkan saya lebih memahami hal tersebut.
Saya merasa kini ilmu benar-benar sedang berjalan di treck yang menuju ke
titik nol. Bayangkan saja minat baca manusia di era sekarang sangat rendah. Terutama
di negeri ini tingkatan pelajar dan mahasiswa pun minat bacanya begitu rendah. Kaum
muda-mudi negeri ini lebih suka membaca status di facebook atau media sosisal
lainya ketimbang membaca buku yang mampu menopang keilmuannya. Saya sendiri merasakan
begiti akutnya canduan saya terhadap media social. Hampir setiap hari tak
pernah luput untuk membuka media semaam itu. Tetapi untuk membuka buku bisa
dihitung jari dalam tiap bulanya.
Tingkat pergerakan ke titik nol ini makin ditunjukanya dengan adanya
sebuah website yang dengan menulis sesuatu yang kita inginkan akan muncul
disitu. Akhirnya timbul genarasi copy paste. Sayapun parahnya mengikuti hal
semacam itu. Generasi cpy paste ini rasanya sudah menjadi habbit bagi sebagian kalangan
intelek negeri ini. Hal yang instan sangat mudah digandrungi ketimbang yang
memerlukan proses panjang. Rasa-rasanya juga proses tiada lagi dihargai oleh
sebagian manusia negeri ini. Semuanya serba ugal-ugalan
serta cepet-cepetan, bayangkan saja di jalanan anda bis amerasakan betapa
manusia itu begitu tergesa-gesa. Semua menggeber laju kendaranaanya dengan
begitu cepat.
Pada era zaman dahulu kwalitas seorang guru ataupun dosen begitu terlihat
berkwalitas. Bayangkan sekarang bisa dirasakan sendiri, untuk memberikan materi
saja terkadang seorang guru mending menyerahkan ke murid mencatat atau
mengcopy. Kalau dosen hanya memberikan presentasi dan itu hanya di baca tanpa
mampu menjabarkan point penting yang mestinya di tekankan. Ketika disuruh
membeli buku, buku yang ada terkadang justru buku yang memiliki bobot apapun
sebagai penunjang keilmuan kita. berbagai kasus bukanya pernah kita jumpai, cerita
porno dimasukan pada buku SD, atau gambar artis porno yang dimasukan di buku
kerja siswa. Terus kalau guru sudah tak lagi berkwalitas kemudian buku yang ada
juga tak berkwalitas, bukankah ilmu ini kian menuju ke nol?
Beruntungnya orang diera zaman sekarang sudah difasilitasi, berasa sudah
tidak perlu research jadi kalaupun berkarya tinggal develop. Jadi ide dan
kreativitas kita mengendap ditataran ide kosong tak terealisasi. Karena di era
sekarang memang mau tidak mau kita di tuntut mengikuti arus zaman yang kian
menggila. Kita kita hendak mengembangkan ide kita hanya diolok-olok sudah
seperti itu tak dianggap. Jadi mental yang sudah terbangun akan gugur ketika
kita tidak membentengi diri kita dengan suatu hal mampu memproteksi kita.
Penemuan-penemuan di zaman sekarang sudah begitu jarang, semuanya hanya
bermain ditataran mengembangkan. Padahal secara kemampuan mungkin saja manusia
sekarang dan mnusia dahulu secara kemampuan sama. Namun torehan manusia zaman
dahulu berbeda jauh dari manusia sekarang. Bisa dihitung jari manusia yang
mampu menemukan suatu hal yang berbeda diera sekarang, dan rasa-rasanya juga
tidak kedengaran penemuan baru. Entah karena berita sekarang lebih mengekspose
kasus-kasus yang tidak menekankan titik kejayaan namun sebaliknya kehancuran. Berita
korupsi seakan menjadi tren baru dunia bisnis berita negeri ini. Krimininalitas
menduduki peringkat kedua berita, disusul politik yang makin kacau balau tak
jelas arahnya. Kemudian disusul berita positif selain sosok, juara lomba,
ataupun memperkeanalkan kuliner itupun hanya di akhir berita dengan durasi
waktu yang sedikit.
Manusia cerdas, pintar dan berkemampuan kurang diharghai di negeri ini. Jadi
jangan heran ketika yang berkualitas pergi meninggalkan negeri ini. Ujung-ujungnya
keilmuannya bergerak ke titik nol, pelajaranya sibuk dengan pacaran, narkoba
dan tawuran. Kalaupun ada yang berprestasi hanya 1:100 ribu mungkin. Itupun hasil
kerja kerasnya sendiri dengan belajar keras dan lain sebagainya. Kalau saya
analogikan secara sederhana, ketika ada satu gayung kemudian di berikan apakah
akan dapat satu gayung juga? Saya rasa tidak, begitupun dengan kwalitas
pendidik, kwalitas pemberi pembelajaran. Jika mereka hanya mempunyai kemampuan
begitu sedikit maka yang akan diserap oleh siswanya pun juga sedikit.
Sebagai generasi muda saya ingin megajak diri saya sendiri untuk terus
berkarya dengan sebisanya kita. tingkatkan kwalitas kita agar keberadaan kita
juga mampu membawakan kebaikan kepada alam ini. Kepada dunia ini, kepada bangsa
ini, dan kehidupan masing-masing kita ini. Yang bercita-cita luhur sebagai
guru, belajar yang tekun agar kelak dapat memberikan sesuatu yang lebih baik
terhadap generasi berikutnya. Karena kalau ilmu ini dibiarkan ke titik nol kita
akan kehilangan nilai-nilai moralitas, nilai-nilai luhur. Sebagai contohnya
bahasa kromo alus, kromo inggil jadi bahasa asing bagi sebagian anak muda jawa,
padahal itu bahasa yang emmiliki nilai moralitas yang begitu agung. Akan kita
juga akan membiarkan itu terjadi juga di ilmu pengetahuan, agama ataupun yang
lainya? Saya yakin hati nurani kita pasti menolak membiarkan hal semacam itu
terjadi.
0 comments:
Post a Comment