Sunday, December 30, 2012

Belajar dari Hujan dan anak kecil yang Bermain di jalan itu

0 comments
Musim hujan memang saat yang paling ditunggu oleh mereka yang menggatungkan rezekinya dari guyuran air hujan. Seperti petani, tukang jual mantel dan payung, tukang reparasi payung, penjual ronde atau wedang jahe, penjual gorengan. Karena saat musim penghujanlah omset mereka bisa naik tajam dan secara otomatis keuangan keluarga bertambah. Dan itulah berkah bagi mereka yang menganggapnya berkah.

Hadirnya hujan sering menjadi suatu hal yang membuat manusia menjadi menggerutu atau marah karena kebasahan. Ataupun harus berhenti menunggu reda dan itu membuang waktu mereka. Dan mungkin juga anda dan saya termasuk. Setiap kali mendung atau hujan lebat dengan berbagai alasan kita mulai menyerang alam. Ukh sial hujan, kok hujan si? dan lain sebagainya.

Melihat hujan tadi siang saat makan siang sehabis mengerjakan tugas yang begitu numpuk dan memang sengaja tak tumpuk karena malas mengerjakan. Hujan tadi siang begitu lebat dan debit air di jalanan begitu cepat. Makan pagi yang ku dobel sekalian makan siang membuat ku bersemangat meski pun hujan saat itu sedang lebat-lebatnya. Saya yang biasanya suka mengeluh karena hujan tadi siang tanpa berkata-kata langsung pergi ke warung makan dengan membawa payung dan berdua dengan teman sekostan.

Suasana lain mulai saya lihat ketika memasuki jalanan yang lumayan lebar di dekat kost. Saya melihat anak kecil yang terlihat begitu bahagia menikmati rintikan hujan dan berenang kecil di jalan yang airnya kian cepat. Tanpa mempedulikan petir yang menggelegar di langit atau kuman yang terbawa lewat air yang mengalir. Dengan asyiknya dia mencipret-cipretkan air ke dekat rumahnya. Sesekali neneknya teriak "ojo di cipret-cipretke" dan ibunya yang terus teriak sudah masuk. Namun si anak hanya tertawa dan berlari seraya dengan derasnya air yang jatuh dari atas langit.

Pemandangan ini sontak membuat saya kagum dan tersenyum sendiri. Ingatan saya akan hal konyol semacam itu pada saat saya kecil tiba-tiiba datang. Iya saya bahkan dahulu lebih parah dengan telanjang bulat berlari-lari menikmati hujan yang deras dan gemuruh petir yang menggelegar.Bersama teman-teman saya baik cowo maupun cewe semuanya bebas menikmati hujan. Entahlah zaman dahulu di desa belum terjangkiti yang namanya nafsu kepada lain jenis sebelum waktunya. Jadi kami bermain bersama cowo-cewe di derasnya hujan. Dan dilanjutkan berenang-renag di sungai kecil dekat sawah dan terasa begitu asyik.

Rasanya dahulu kala ketika masih kecil menjalani kehidupan seperti apapun tetap di lalui dengan ceria dan tetap bersyukur dengan bahsa anak-anak pastinya. Ketika datang hujan justru teriak bahagia. Namun sekarang ketika datang hujan mengeluh, menggerutu dan berkata-kata yang isinya gak berbau sopan sama sekali. Ketika panas tiba juga tetap bersyukur karena itu berarti saatnya bermain layang-layang dan menikmati terik dan hembusan angin. Namun sekarang ketika panas juga tidak henti dari yang namanya hujtan lagi. Duh gusti manusia macam apa saya ini,? Anda juga termasuk yang seperti saya? Semoga saja tidak.

Dunia anak-anak memang dunia yang penuh dengan totalitas. Anak-anak melakukan segalanya dengan penuh antusias dan semangat yang tinggi. Anak-anak tidak pernah mengenal kata putus asa dalam hidupnya. Ketika tidak bisa dia kan terus mencoba lagi dan lagi sampai benar-benar bisa. Ketika dia mencoba berjalan kemudian jatuh dia hanya akan menangis dan akan bangkit lagi dan melakukannya lagi. Ketika dia bersedih dia akan totalitas menangis. Ketika dia bahagia dan senang dia akan menunjukannya dengan totalitas mengekspresikan kebahagiaanya entah dengan tertawa atau berlari mengitari beranda rumah. Itulah dunia anak-anak dan semua orang saya yakin pernah mengalaminya. 

Gambaran di atas mestinya membuat saya dan anda bertanya-tanya. Kenapa sekarang kualitas hidup kita bukanya bertambah baik tapi kok malah membleh atau menurun? Kita mudah menyerah dan putus asa, mudah sakit hati, sering sedih hanya karena hal yang sepele. Dunia anak-anaknya mana? Kita cenderung lebih suka berbohong. Ketika kita sedih kita berpura-pura senang sesampai di rumah menggerutu yang kepada membuat kita sedih. Loh kita kok semakin kehilangan keberanian untuk menyampaikan kejanggalan? Bukankah saat anak-anak kita begitu lantang ketika kita tidak suka kita bilang bahwa kita tidak suka. Ketika kita suka kita bilang dan dengan senyum bilang suka. Sekarang, apa yang terjadi dengan kualitas hidup saya dan anda ini?

Saya semakin bertanya-tanya, jangan-jangan kita memang hanya melalui nya saja tanpa mau mengambil hikmahnya? atau memnag kita sudah sok mampu sok dewasa dan melupakan pelajaran hidup saat anak-anak? Tak perlu dijawab cukup diresapi saja dan di sadari benar atau tidaknya hal semacam itu. Mungkin dengan menyadari hal semacam itu kita lebih mawas diri. Selain itu mampu mengarungi kehidupan ini dengan sifat anak-anak yang ceria dan tetap bersyukur, bermentalkan deawasa dan bisa berpola pikir lebih maju. 

0 comments:

Post a Comment